Pages

Senin, 16 Januari 2012

[episode 6] Meletakkan Cinta


“Assalamu’alaikum..” seseorang membuka pintu ruang tamu dan masuk ke dalam kos.

Aku sedikit menarik nafas lega, seakan beban yang kurasakan hilang seketika. Rina masuk sambil membawa tas merahnya langsung menghampiri aku dan mbak Lia yang sedang berbincang-bincang yang menurutnya asyik. Rina mengarahkan tangannya menuju makanan ringan yang berada di hadapanku dan mbak Lia.

Hap! Aku menahan tangannya untuk menyentuh makanan ringan di hadapan kami, “Cuci tangan dulu sana, seharian di kampus pulang-pulang langsung main ambil makanan gitu aja.” Pintaku padanya. Rina langsung mengerutkan wajahnya sambil membalikkan badan menuju keran air di dapur, secepat kilat mencuci tangannya dan bersegera menuju ke hadapanku dan mbak Lia lagi.

“Sudaaah...” teriaknya kecil sambil mengarahkan tangannya ke arah makanan ringan di hadapanku. Rina memang nampak seperti anak kecil, ah dia terlalu lugu. “Lagi pada ngomongin apa sih? Serius banget.” Belum selesai makanan ringan itu dikunyahnya, Rina melemparkan pertanyaannya barusan padaku.

“Ini lagi ngobrol sama mbak Lia,” aku menjawabnya sambil memandang wajah mbak Lia yang sedikit kecewa melihat kedatangan Rina yang menghambat pembicaraan kami berdua.

“Iya aku tau kalau kalian lagi ngobrol, yaudah aku ke kamar dulu ya. Mau bikin tugas Sejarah Sastra Lama nih. Aku ke kamar dulu ya mbak..” serunya pada mbak Lia, terlihat tangannya mengambil sejumlah makanan ringan.

Mbak Lia hanya tersenyum sekenanya pada Rina, berharap aku melanjutkan kalimatku yang sempat terpotong karena kedatangan Rina. “Gimana dek?” mbak Lia memulai perbincangan kita kembali.

“Afwan ya mbak, ini Cuma pendapatku. Dan belum tentu benar atau bahkan memang salah.” Aku meminta maaf dulu pada mbak Lia terhadap kalimatku yang akan aku sampaikan padanya.

“Iya dek, mbak nggak papa. Silahkan.” Mbak Lia mempersilahkanku menyampaikan pendapatku.

“Kalau menurutku, mbak kok terlalu berlebihan ya menilai akh Yusuf. Padahal kan akh Yusuf bukan siapa-siapanya mbak. Dan aku, aku juga baru berbicara dengan akh Yusuf barusan. Aku tak mengerti maksud yang tersembunyi dalam perbincanganku dengan akh Yusuf tadi siang. Aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan akh Yusuf kepadaku. Dan bukankah kalau calon ketua rohis itu akan ditetapkan nanti pada saat musyawarah bersama itu ya mbak?” aku menjawab pertanyaan mbak Lia sesuai dengan apa yang kupikirkan.

Sepertinya mbak Lia sedikit tersentak dengan jawabanku. Terlihat dari parasnya yang mengerutkan dahinya. “Syukron atas pendapatnya ya dek. Jadi begitu ya, mbak terlalu berlebihan menilai akh Yusuf. Mbak juga yakin, apa yang mbak pikirkan tentang akh Yusuf tidak semuanya benar. Terus kalau untuk masalah akh Yusuf untuk menjadi ketua selanjutnya ini pendapat beberapa akhwat. Memang keputusan jadi atau tidaknya akh Yusuf menjadi ketua atau bahkan hanya sekedar calon diputuskan pada saat musyawarah bersama nanti, setelah adanya pembahasan LPJ organisasi.” Mbak Lia menjelaskan.

“Aku juga belum terlalu paham dengan aktifitas dunia kampus mbak. Dan menurutku aku juga masih terlalu hijau memahami sepak terjang dunia dakwah di kampus.” Mungkin aku sedikit menetralisir konflik batin yang sedang terjadi antara aku dan mbak Lia. Aku dapat merasakan betapa batin mbak Lia begitu bergejolak mengenai hal ini.

“Ya sudah dek, mbak pamit pulang dulu ya. Udah hampir maghrib nih, keburu nggak enak sama penghuni kos yang lain kalau maghrib belum pulang.” Mbak Lia sambil berdiri pamit kepadaku.

“Nggak nunggu maghrib sekalian di sini mbak?”

“Nggak, mbak langsung pulang aja. Oya, titip salam buat Rina ya sama penghuni kos yang lain. Jazakillah, afwan udah ngerepotin anti. Assalamu’alaikum..” mbak Lia menjabat tanganku tak lupa melakukan tradisi perpisahan antara aktifis dakwah, salam semut katanya.

“Nggak ngerepotin kok mbak. Aku malah seneng kalau mbak Lia main ke sini. Sering-sering main ke sini ya mbak. Hati-hati mbak, Wa’alaikumussalam warohmatullah..” kuiringi langkah kaki mbak Lia menuju halaman depan kos.

Mbak Lia menyalakan mesin motornya dan tersenyum manis kepadaku, “Assalamu’alaikum..” ucapnya sekali lagi padaku.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah, hati-hati mbak.” Kubalas senyuman itu.

Adzan maghrib pun berkumandang. Kami semua (penghuni kos) bersegera mengambil air wudhu dan bersiap-siap mendirikan sholat maghrib berjamaah. Kali ini mbak Sarah yang menjadi iman, karena mbak Ica sedang tidak ada di kos. Setelah sholat maghrib, seperti biasa kami melantunkan dzikir ma’sturat bersama-sama dan tilawah al-qur’an mandiri.

===================================================

Setelah sholat isya’ aku menuju kamar dan menata pelajaran untuk kuliah esok. Di tengah-tengah menata jadual pikiranku melayang ke perbincanganku tadi siang bersama mbak Lia. Aku hanya bisa menduga-duga saja apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba aku kangen mbak Ica, mbak Ica yang biasanya kujadikan sebagai tempat pencurahan semua isi hatiku sedang tidak ada. Akupun berinisiatif untuk mengirim sms pada mbak Ica, kutanyakan kabar mbak Ica di sana dan menceritakan tentang kegalauan yang sedang kualami.

===================================================

Lima menit, sepuluh menit, setengah jam, satu jam smsku tak kunjung dibalas oleh mbak Ica. Ah, mungkin mbak Ica sedang sibuk, pikirku dalam hati. Kulanjutkan untuk mengerjakan tugas Sejarah Sastra Lama yang belum sempat aku sentuh sama sekali. Kubuka lembar demi lembar buku mata kuliah itu, tak ada satupun ide yang muncul dari pikiranku untuk mengerjakan tugas mata kuliah yang tidak aku senangi ini. Apalagi mata kuliah sejarah, yang memangs sudah menjadi musuh bubuyutanku sejak mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Rasanya pikiranku tentang sejarah sudah terprogram dengan baik bahwa sejarah adalah pelajaran yang sangat sulit.

===================================================

Handphone-ku tiba-tiba bergetar, tanda satu pesan masuk. Dari mbak Ica, mbak Ica membalas smsku. Tapi sayang, jawabannya mbak Ica tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Mbak Ica hanya menjawab bahwa kabarnya Alhamdulillah baik, dan tidak menanggapi kegalauan yang sedang kurasakan. Tak kubalas sms itu, akupun berusaha menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Sastra Lama lagi.

========================================================

Setelah selesai sholat qiyamul lail, mulai ku memadu kasih denganNya. Mungkin inilah kelemahanku, kepada Zat Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia aku hanya bisa mengeluh tanpa meminta apa yang seharusnya kupinta. Di sela-sela do’a malamku, kupanjatkan do’a untuk kedua orangtuaku yang berada di rumah yang begitu kurindukan, meminta Allah menunjukkan jalan yang lurus kepadaku. Bahkan tak lupa aku ikut mendo’akan orang-orang yang berada di sekitarku saat ini. Mbak Ica, mbak Lia, mbak Sarah, Rina, Tsania, bahkan akh Yusuf tak luput dari do’a malamku. Kuharap semuanya selalu berada di jalan Allah dan senantiasa berada dalam lindunganNya.

Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta padaMu, telah berjumpa dalam taat padaMu, telah bersatu dalam dakwah padaMu, telah berpadu dalam membela syari’atMu. Kukuhkanlah, ya Allah, ikatannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan nur cahayaMu yang tiada pernah pudar. Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepadaMu dan keindahan bertawakkal kepadaMu. Nyalakanlah hati kami dengan berma’rifat padaMu. Matikanlah kami dalam syahid di jalanMu. Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Ya Allah. Amin. Sampaikanlah kesejahteraan, ya Allah, pada junjungan kami, Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya dan limpahkanlah kepada mereka keselamatan.”

Allahlah sebaik-baik tempat meminta dan memohon petunjuk karena kita adalah makhluk yang sangat lemah tanpanya.



...bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger