Pages

Jumat, 13 Januari 2012

[episode 3] Meletakkan Cinta


“Farah, ayo ke sini... udah ditunggu ” seru Tsania. Tapi tak ada jawaban dari kamar Farah. Dengan langkah sedikit dipercepat Tsania masuk ke kamar Farah, “Farah, kamu kenapa sih? Dipanggil kok nggak dijawab. Ayo cepetan, mbak Ica mau ada yang dibicarakan tuh. Penting kayaknya.” Sambil menarik lengan Farah, Tsania mengajak Farah menuju ruang tengah. Dengan langkah gontai Farah mengikuti Tsania.

“Farah kenapa?” tanya mbak Ica dengan senyuman termanisnya.

“Ah, nggak papa kok mbak. Cuma lagi males aja. Mbak Ica mau ngomongin apa?” jawab Farah malas-malasan. Padahal hatinya berdegub kencang, ia masih terpikirkan kejadian tadi siang antara dirinya, mbak Ica dan mas Yusuf.

“Baiklah kalau tidak apa-apa. Begini, tadi sore mbak barusan syuro beasiswa UKKI di PKM. Nah, mbak diamanahi untuk jadi koordinator fakultas untuk program beasiswa ini. Tiap fakultas mendapat kesempatan beasiswa 15 orang untuk mahasiswa semester awal. Kalian ada yang berminat tidak?” jelas mbak Ica.

Oh, jadi hanya akan membicarakan beasiswa itu. Sejenak kulepaskan pikiranku tentang kejadian tadi siang. Wah, beasiswa... aku mau juga ah, pikirku dalam hati.

“Kalau ada yang berminat, silahkan ndaftar ke mbak ya. Paling lambat Sabtu depan.” Lanjut mbak Ica.

“Syarat-syarat beasiswanya apa aja mbak?” sepertinya Rina berminat untuk mendapatkan beasiswa itu.

“Gampang kok dek, nanti tinggal ngisi blangkonya saja. Terus setelah itu ada seleksi data.” Jawab mbak Ica, “Atau mungkin dari kalian ada yang berminat, besok mbak ambilkan blangkonya.”

“Aku mau mbak...” Rina menyahut.

“Aku juga mbak,” Tsania mengikuti.

“Aku juga mbak,” sepertinya Farah benar-benar mulai bisa melupakan kejadian tadi siang. Dia benar-benar ingin mendapatkan beasiswa tersebut.

“Baik, besok mbak ambilkan blangkonya ya. Berarti di sini ada tiga orang yang minat, Rina, Tsania dan Farah” cetus mbak Ica.

=========================================================

Kicauan burung menemani langkahku menuju kampus. Sejuknya udara di dataran tinggi ini tak menyurutkan langkahku meraih ilmu. Kali ini aku berangkat sendirian, karena Tsania tidak ada jadual kuliah pagi. Sepanjang perjalanan menuju kampus, sambil kudendangkan nasyid-nasyid yang kuhafal liriknya, “Hari ini kumulai dengan ceria, senyum sapa kepada semua orang, kuucap salam untukmu teman-teman, oh semoga rahmat dan berkahNya terlimpah untuk semua... Kulangkahkan kakiku dengan bismillah, yakinlah hari ini begitu indah...” belum selesai kudendangkan nasyid ini tiba-tiba seorang laki-laki mengenakan celana gantung dengan kemeja batiknya keluar dari pagar sebuah kos yang sedang kulalui.

“Assalamu’alaikum ukhti...” sapa laki-laki itu.

“Wa’alaikumussalam,” sambil tercengang melihat sosok tersebut aku menjawab salamnya. Ternyata laki-laki tersebut tak lain adalah mas Yusuf.

“Duluan ya ukh,” lanjut mas Yusuf sambil berlalu.

“Oh, iya Mas.” Jawabku setengah bingung. Melihat sosoknya itu, aku kembali mengingat kejadian kemarin siang. Aku sangat merasa bersalah terhadapnya. Padahal yang kulihat mas Yusuf seorang ikhwan yang begitu santun dan bersahaja.

=========================================================

Saat istirahat dhuhur tiba, aku bergegas menuju masjid. Kali ini aku sholat di masjid FMIPA karena baru saja kuliah di fakultas tersebut. Masjid berada di tengah fakultas, yang dikelilingi oleh rerumputan hijau. Masjid ini sangat teduh, selain itu memang sangat tepat apabila dijadikan tempat untuk mengadu segalanya pada Sang Maha Pemilik hati manusia.

Kusegerakan untuk mengambil air wudhu, setelah itu langsung mengikuti jamaah yang sudah sholat dan beranjak menuju rokaat kedua. Setelah mengenakan dan merapikan mukena, kuikut serta dalam kekhusyu’an sholat ini.

Setelah selesai sholat dan berdzikir, aku segera mengambil tasku dan bersiap-siap kembali pulang ke kos.

“Farah..,” seru mbak Ica dari kejauhan.

“Iya mbak, ada apa?” jawabku mendekati mbak Ica.

“Nih, formulir untuk beasiswanya.” Sambil menyerahkan beberapa lembar kertas, mbak Ica tersenyum kepadaku.

“Iya mbak, jazakillah. Kok mbak Ica bisa di sini, ada kuliah di sini juga?” tanyaku.

“Enggak, mbak tadi habis dari PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) MIPA ngambil berkas ini. Eh, di sini ketemu anti. Yaudah, mbak kasih aja sekalian, daripada nanti lupa.”

“Kok di PKM MIPA, nggak di PKM Unnes?”

“Iya, tadi ngambil berkasnya di akh Yusuf. Lagian tadi sekalian ada urusan sama mbak Nadia ketua Annisa MIPA.”

“Ooo...” jawabku sambil mengangguk-angguk dan melihat-lihat isi formulir itu.

“Oh iya, nanti sore jam 4 ada kajian ilmu di masjid Unnes. Dateng ya...” ajak mbak Ica.

“Iya mbak, insya Allah.” Jawabku.

========================================================

Setelah sholat asar aku, Tsania dan Rina berangkat menuju masjid Unnes untuk mengikuti kajian. Mbak Ica sejak siang tadi belum juga pulang dari kampus, mungkin langsung menuju masjid.

Sesampainya di masjid ternyata kajiannya sudah di mulai. Pemateri seorang ikhwan muda, yang terlihat begitu cerdas. Retorika berbicaranya sangat menakjubkan. Menyampaikan materi tentang Urgensi Menuntut Ilmu, Subhanallah... kena banget ke aku yang kurang pandai mengatur waktu terhadap ilmu.

Setelah pemateri menyampaikan materi, dibukalah sesi tanya jawab. Aku ingin bertanya ah.., moderator memberikan kesempatan bertanya untuk tiga orang terlebih dahulu. Akupun ikut mengacungkan tanganku untuk bertanya. Saat moderator menunjuk peserta yang akan bertanya, ternyata aku tak ditunjuk. Pikirku, pada sesi kedua saja aku akan bertanya.

“Ya akh, silahkan.” Moderator menunjuk seorang ikhwan untuk bertanya terlebih dahulu.

“Baik, bismillahirrohmanirrohim. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh. Begini akh, yang ingin saya tanyakan. Di zaman globalisasi seperti ini, banyak sekali pemuda yang salah memahami suatu ilmu. Misalnya dalam ibadah saja, mengapa banyak diantara mereka yang berbeda pemahaman itu justru saling menyalahkan. Padahal belum tentu apa yang mereka lakukan masing-masing itu benar. Di sisi lain, mereka hanya taqlid tanpa mempedulikan sumber ilmunya dan ikut menyalahkan orang lain. ” tanya ikhwan tersebut. Tak lama moderator mempersilahkan dua orang akhwat untuk bertanya.

Saat ikhwan tersebut bertanya, aku berpikir sepertinya tak asing dengan suara tersebut. Lagian kok pertanyaannya hampir serupa dengan pertanyaan yang akan aku tanyakan. Ternyata ikhwan tersebut adalah akh Yusuf.

...bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger