Bersama Kesulitan Ada Kemudahan

andai perjuangan ini mudah,pasti ramai menyertainya.. andai perjuangan ini singkat,pasti ramai yang istiqamah.. andai perjuangan ini menjanjikan kesenangan dunia,pasti ramai tertarik padanya.. tapi hakikat perjuangan bukan begitu,turun naiknya,sakit pedihnya,umpama kemanisan yang tak terhingga.. andai rebah,bangkitlah semula.. andai terluka,ingatlah janjiNya.. yakinkan dalam diri, bersama kesulitan ada kemudahan.

Kalimasada

Bersama mereka aku meniti tangga dakwah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Rohis Kalimasada, Menapaki Asa Menuju Cita Mulia.

Linguabase

Aku menemukan cinta di sini. bahagia bersama pengusung dakwah di fakultasku tercinta, Fakultas Bahasa dan Seni. Menemukan saudara-saudara seperjuangan yang luar biasa.

KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia)

Semua rasa ada di KAMMI, aku mendapatkan semua pembelajaran dari KAMMI. Meski kredo KAMMI terlalu sempurna, tapi aku ingin berupaya untuk itu.. Kami adalah putra-putri kandung dakwah, akan beredar bersama dakwah ini kemanapun perginya..

Yang Bersabuk Dua

Julukan yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Asma' binti Abu Bakar. Aku ingin menjadi sosok seperti Asma' binti Abu Bakar, sosok muslimah tangguh yang cerdas dan berani.

Pages

Kamis, 16 Agustus 2012

Bersama Mujahid-mujahid kecilku :)



Masih teringat jelas dibenakku pada awal Mei 2011 mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah TPQ dari umiku, “Kau sudah selesai to ujiannya, udah nggak ngapa-ngapain lagi. Sambil nunggu kuliah kan ada waktu hampir lima bulan nganggur. Ngajar TPQ mau nggak?”

Memang saat itu aku benar-benar free nggak ada kerjaan, setelah menempuh Ujian Akhir Nasional aku benar-benar libur. Jadi lumayan bosen juga di rumah nggak punya rutinitas yang biasa-biasa aja. “Ngajar TPQ dimana, mi?” tanyaku pada saat itu.

“Di Perumahan Bea Cukai, Gemah. Di depan BLKI itu masuk, tau nggak?” jawab umiku.

Awalnya aku mengelak, karena rasa keberanian itu belum muncul sama sekali. “Itu TPQ baru kok, baru dirintis, kamu nanti jadi guru sendiri di sana. Kan enak, anak-anaknya bisa diajak belajar sambil mainan. Diajak guyon juga nggak papa, mumpung ada yang nawari lho. Kalau nggak mau, nanti umi nyari guru yang lain. Piye?

Hampir satu minggu aku berpikir, akhirnya kuiyakan tawaran tersebut. Meski rasa ragu masih saja menggelayutiku. Kupersiapkan segala sesuatunya, konsep mengajar TPQ yang kurencanakan hingga sedemikian rupa supaya tidak membosankan. Bahkan juga mencari selingan-selingan di internet atau bertanya-tanya untuk variasi mengajar di TPQ nanti.

Tanggal 2 Mei 2011 pukul 15.45 aku berangkat menuju tempat dimana aku mengajar perdana. Meski hanya mengajar TPQ, tapi ini pertama kalinya aku mengajar anak-anak sendirian. Apalagi aku belum pernah kenal dengan mereka sama sekali. Lumayan canggung juga berhadapan dengan mereka. Kuparkirkan sepeda motorku di depan musholla mungil berwarna hijau muda itu, dan perlahan aku masuk ke dalam musholla tersebut. Masih belum yakin ketika aku duduk layaknya ustadzah di hadapan mereka. Ku awali hari pertamaku mengajar dengan mengucapkan salam kepada mereka, tak lupa sebuah senyuman terindah kupersembahkan untuk murid-murid kecilku yang manis-manis itu. Aku pun memperkenalkan diri, dan mereka tak malu bertanya tentang apapun yang mereka ingin tahu (namanya juga anak-anak ^_^). Kesan hari pertama mengajar memang luar biasa, membuatku semakin semangat untuk mengajar.

Di hari-hari selanjutnya, aku merasakan kenyamanan. Aku cukup sering memberikan permainan untuk sekadar mencairkan suasana ketika mereka bermalas-malasan dalam mengaji. Mulai dari hanya permainan hingga bernyanyi lagu-lagu islami khas anak-anak seusia mereka. Terkadang aku juga memberikan award kepada mereka yang berprestasi. Walaupun hanya kuberikan sebuah pensil atau buku tulis, tapi mereka begitu senang menerimanya. Dan mengajar bagiku sesuatu yang menyenangkan, bahkan kuanggap sebagai refreshing ketika aku merasa jenuh dengan kegiatanku.

Celotehan murid-muridku yang membuatku rindu pada mereka,

Rabu, 08 Agustus 2012

[Episode 18] Meletakkan Cinta





 “Farah…” teriak Rina yang baru saja keluar dari kantor jurusan. Aku yang asyik membaca beberapa pengumuman di mading tak menghiraukannya sama sekali.

            “Hei, kamu dipanggil kok malah diem sih. Lagi baca apaan?” Tanya Rina sambil melemparkan pandangannya ke arah mading.
            “Ini, ada lowongan beasiswa Rin. Minat nggak?”
            “Minat sih, tapi…” sambil memikirkan sesuatu, Rina langsung teringat tujuan utamanya memanggilku. “Ayo, katanya mau ke perpus pusat. Sekarang yuk..”
            “Oh iya ya, aku lupa. Hehe.. sekarang?” aku sedikit menggodanya.
            “Ih.. tahun depan! Ya sekarang dong, ayo..”
            “Baik tuan putri cantik….” Aku dan Rina pun bergegas menuju tempat parkir motor dan mengambil kuda besi merah kesayanganku.

===

            Perpustakaan pusat Unnes memang lebih terlihat sepi dibandingkan dengan perpustakaan di jurusan. Mungkin karena ruangannya yang lebih besar sehingga terlihat lebih longgar dengan pengunjung yang hamper sama jumlahnya.
            “Kamu nyari buku apaan sih?” tanyaku pada Rina yang sibuk mengitari rak-rak buku bagian sastra.
            “Kan tadi pagi aku udah bilang, referensi buat tugas Teori Sastra.”
            “Memang kamu dapat materi bagian apa?”
            “Pendekatan sastra berdasarkan biografi pengarang, aku bingung nih.. Dari kemarin nyari nggak ketemu juga.”
            “Yah, kalau Cuma tentang itu aku juga punya. Kirain tentang yang Pendekatan berdasarkan psikologi atau yang fantasi.”
            “Kamu kenapa nggak bilang sih…” Rina berkacak pinggang padaku, raut mukanya mulai kusut. Sepertinya Rina sedikit marah padaku.
            “Hehe, piss Rin..” aku hanya nyengir kuda. Sengaja memang kukerjain Rina. “Jangan marah ya, kamu cantik deh. Laper nggak? Makan mie ayam yuk..” ajakku sambil menggandeng tangannya yang masih melingkar di pinggangnya. Rina hanya tersenyum, tanda dirinya setuju dengan ajakanku.
            “Ayo, cepetan Rin.” Desakku karena aku melihat sosok yang cukup mencurigakan.
            “Assalamu’alaikum, ukhti..” yah, terlambat, pikirku dalam hati. Akh Yusuf yang tengah bersama temannya di dalam perpustakaan menyapa kami berdua. Padahal aku baru saja hendak menghindar darinya.

[Episode 17] Meletakkan Cinta


  “Assalamu’alaikum ukhti, afwan atas ketidaknyamanan yang anti rasakan karena saya. Saya hanya tidak ingin masalah ini berlarut-larut. Syukron.

                “Isi smsnya aneh ya mbak?” tanyaku meminta pendapat pada mbak Ica.

                “Kok malah aneh, memang aneh gimana dek?”

                “Aku jadi tambah bingung mbak, bukannya ikhwan itu tidak terlalu main perasaan ya mbak? Kok ini aku ngerasanya akh Yusuf yang lebih sensitif. Padahal kan akunya biasa aja mbak..”

                “Ooohh.. hehe, mungkin beliau takut melukai perasaan anti, jadinya nggak ingin masalah ini berlarut-larut.”

                “Aku sebenernya sudah mulai melupakan masalah ini mbak, tapi akh Yusuf yang sering meminta maaf gitu malah bikin aku terus ingat mbak. Harusnya akh Yusuf nggak perlu kayak gitu banget...”

                “Iya dek, mungkin akh Yusuf takut.”

                “Takut, takut kenapa mbak?”

                “Takut emm, takut apa ya... takut kehilangan anti mungkin.... hehehe” mbak Ica dengan santainya mengucapkan kalimat itu dan tiba-tiba pergi meninggalkan kamar.

                Ah, mbak Ica kebiasaan. Kalau diajak bicara serius sukanya malah bercanda kayak gitu. Tapi tanpa kusadari perkataan mbak Ica baru saja terus saja terngiang-ngiang di pikiranku. Mengapa seakan-akan aku mengiyakan kalimat mbak Ica tersebut ya.

===

                “Dek, dek Farah bangun. Katanya mau shaum, ayo sahur bersama teman-teman yang lain..” mbak Ica perlahan membangunkanku. Rasa malas masih saja menggelayutiku.

                “Pukul berapa sekarang mbak?” aku membalikkan badanku ke arah mbak Ica.

                “Pukul 02.30. Ayo buruan, belum qiyamul lail juga, kan?” mbak Ica menarik gulingku yang masih saja erat kurangkul.

                “Iya mbak, ehm... pagi sekali..”

                “Ayo, katanya mau jadi akhwat beneran..” mbak Ica selalu saja ada ide untuk menggodaku.

                “Memang sekarang aku belum jadi akhwat beneran ya mbak?”

                “Insya Allah sudah kok, kan sudah bisa menjaga hijab dengan...... kabuuuuuuurrrrr...” mbak Ica tiba-tiba menghilang dari hadapanku.

                “Ah, mbak Ica..” tanpa kusadari senyum mengembang di bibirku. “Astaghfirullah, kenapa aku ini jadi mikir yang enggak-enggak sih..”

Powered By Blogger