Bersama Kesulitan Ada Kemudahan

andai perjuangan ini mudah,pasti ramai menyertainya.. andai perjuangan ini singkat,pasti ramai yang istiqamah.. andai perjuangan ini menjanjikan kesenangan dunia,pasti ramai tertarik padanya.. tapi hakikat perjuangan bukan begitu,turun naiknya,sakit pedihnya,umpama kemanisan yang tak terhingga.. andai rebah,bangkitlah semula.. andai terluka,ingatlah janjiNya.. yakinkan dalam diri, bersama kesulitan ada kemudahan.

Kalimasada

Bersama mereka aku meniti tangga dakwah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Rohis Kalimasada, Menapaki Asa Menuju Cita Mulia.

Linguabase

Aku menemukan cinta di sini. bahagia bersama pengusung dakwah di fakultasku tercinta, Fakultas Bahasa dan Seni. Menemukan saudara-saudara seperjuangan yang luar biasa.

KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia)

Semua rasa ada di KAMMI, aku mendapatkan semua pembelajaran dari KAMMI. Meski kredo KAMMI terlalu sempurna, tapi aku ingin berupaya untuk itu.. Kami adalah putra-putri kandung dakwah, akan beredar bersama dakwah ini kemanapun perginya..

Yang Bersabuk Dua

Julukan yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Asma' binti Abu Bakar. Aku ingin menjadi sosok seperti Asma' binti Abu Bakar, sosok muslimah tangguh yang cerdas dan berani.

Pages

Kamis, 16 Agustus 2012

Bersama Mujahid-mujahid kecilku :)



Masih teringat jelas dibenakku pada awal Mei 2011 mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah TPQ dari umiku, “Kau sudah selesai to ujiannya, udah nggak ngapa-ngapain lagi. Sambil nunggu kuliah kan ada waktu hampir lima bulan nganggur. Ngajar TPQ mau nggak?”

Memang saat itu aku benar-benar free nggak ada kerjaan, setelah menempuh Ujian Akhir Nasional aku benar-benar libur. Jadi lumayan bosen juga di rumah nggak punya rutinitas yang biasa-biasa aja. “Ngajar TPQ dimana, mi?” tanyaku pada saat itu.

“Di Perumahan Bea Cukai, Gemah. Di depan BLKI itu masuk, tau nggak?” jawab umiku.

Awalnya aku mengelak, karena rasa keberanian itu belum muncul sama sekali. “Itu TPQ baru kok, baru dirintis, kamu nanti jadi guru sendiri di sana. Kan enak, anak-anaknya bisa diajak belajar sambil mainan. Diajak guyon juga nggak papa, mumpung ada yang nawari lho. Kalau nggak mau, nanti umi nyari guru yang lain. Piye?

Hampir satu minggu aku berpikir, akhirnya kuiyakan tawaran tersebut. Meski rasa ragu masih saja menggelayutiku. Kupersiapkan segala sesuatunya, konsep mengajar TPQ yang kurencanakan hingga sedemikian rupa supaya tidak membosankan. Bahkan juga mencari selingan-selingan di internet atau bertanya-tanya untuk variasi mengajar di TPQ nanti.

Tanggal 2 Mei 2011 pukul 15.45 aku berangkat menuju tempat dimana aku mengajar perdana. Meski hanya mengajar TPQ, tapi ini pertama kalinya aku mengajar anak-anak sendirian. Apalagi aku belum pernah kenal dengan mereka sama sekali. Lumayan canggung juga berhadapan dengan mereka. Kuparkirkan sepeda motorku di depan musholla mungil berwarna hijau muda itu, dan perlahan aku masuk ke dalam musholla tersebut. Masih belum yakin ketika aku duduk layaknya ustadzah di hadapan mereka. Ku awali hari pertamaku mengajar dengan mengucapkan salam kepada mereka, tak lupa sebuah senyuman terindah kupersembahkan untuk murid-murid kecilku yang manis-manis itu. Aku pun memperkenalkan diri, dan mereka tak malu bertanya tentang apapun yang mereka ingin tahu (namanya juga anak-anak ^_^). Kesan hari pertama mengajar memang luar biasa, membuatku semakin semangat untuk mengajar.

Di hari-hari selanjutnya, aku merasakan kenyamanan. Aku cukup sering memberikan permainan untuk sekadar mencairkan suasana ketika mereka bermalas-malasan dalam mengaji. Mulai dari hanya permainan hingga bernyanyi lagu-lagu islami khas anak-anak seusia mereka. Terkadang aku juga memberikan award kepada mereka yang berprestasi. Walaupun hanya kuberikan sebuah pensil atau buku tulis, tapi mereka begitu senang menerimanya. Dan mengajar bagiku sesuatu yang menyenangkan, bahkan kuanggap sebagai refreshing ketika aku merasa jenuh dengan kegiatanku.

Celotehan murid-muridku yang membuatku rindu pada mereka,

Rabu, 08 Agustus 2012

[Episode 18] Meletakkan Cinta





 “Farah…” teriak Rina yang baru saja keluar dari kantor jurusan. Aku yang asyik membaca beberapa pengumuman di mading tak menghiraukannya sama sekali.

            “Hei, kamu dipanggil kok malah diem sih. Lagi baca apaan?” Tanya Rina sambil melemparkan pandangannya ke arah mading.
            “Ini, ada lowongan beasiswa Rin. Minat nggak?”
            “Minat sih, tapi…” sambil memikirkan sesuatu, Rina langsung teringat tujuan utamanya memanggilku. “Ayo, katanya mau ke perpus pusat. Sekarang yuk..”
            “Oh iya ya, aku lupa. Hehe.. sekarang?” aku sedikit menggodanya.
            “Ih.. tahun depan! Ya sekarang dong, ayo..”
            “Baik tuan putri cantik….” Aku dan Rina pun bergegas menuju tempat parkir motor dan mengambil kuda besi merah kesayanganku.

===

            Perpustakaan pusat Unnes memang lebih terlihat sepi dibandingkan dengan perpustakaan di jurusan. Mungkin karena ruangannya yang lebih besar sehingga terlihat lebih longgar dengan pengunjung yang hamper sama jumlahnya.
            “Kamu nyari buku apaan sih?” tanyaku pada Rina yang sibuk mengitari rak-rak buku bagian sastra.
            “Kan tadi pagi aku udah bilang, referensi buat tugas Teori Sastra.”
            “Memang kamu dapat materi bagian apa?”
            “Pendekatan sastra berdasarkan biografi pengarang, aku bingung nih.. Dari kemarin nyari nggak ketemu juga.”
            “Yah, kalau Cuma tentang itu aku juga punya. Kirain tentang yang Pendekatan berdasarkan psikologi atau yang fantasi.”
            “Kamu kenapa nggak bilang sih…” Rina berkacak pinggang padaku, raut mukanya mulai kusut. Sepertinya Rina sedikit marah padaku.
            “Hehe, piss Rin..” aku hanya nyengir kuda. Sengaja memang kukerjain Rina. “Jangan marah ya, kamu cantik deh. Laper nggak? Makan mie ayam yuk..” ajakku sambil menggandeng tangannya yang masih melingkar di pinggangnya. Rina hanya tersenyum, tanda dirinya setuju dengan ajakanku.
            “Ayo, cepetan Rin.” Desakku karena aku melihat sosok yang cukup mencurigakan.
            “Assalamu’alaikum, ukhti..” yah, terlambat, pikirku dalam hati. Akh Yusuf yang tengah bersama temannya di dalam perpustakaan menyapa kami berdua. Padahal aku baru saja hendak menghindar darinya.

[Episode 17] Meletakkan Cinta


  “Assalamu’alaikum ukhti, afwan atas ketidaknyamanan yang anti rasakan karena saya. Saya hanya tidak ingin masalah ini berlarut-larut. Syukron.

                “Isi smsnya aneh ya mbak?” tanyaku meminta pendapat pada mbak Ica.

                “Kok malah aneh, memang aneh gimana dek?”

                “Aku jadi tambah bingung mbak, bukannya ikhwan itu tidak terlalu main perasaan ya mbak? Kok ini aku ngerasanya akh Yusuf yang lebih sensitif. Padahal kan akunya biasa aja mbak..”

                “Ooohh.. hehe, mungkin beliau takut melukai perasaan anti, jadinya nggak ingin masalah ini berlarut-larut.”

                “Aku sebenernya sudah mulai melupakan masalah ini mbak, tapi akh Yusuf yang sering meminta maaf gitu malah bikin aku terus ingat mbak. Harusnya akh Yusuf nggak perlu kayak gitu banget...”

                “Iya dek, mungkin akh Yusuf takut.”

                “Takut, takut kenapa mbak?”

                “Takut emm, takut apa ya... takut kehilangan anti mungkin.... hehehe” mbak Ica dengan santainya mengucapkan kalimat itu dan tiba-tiba pergi meninggalkan kamar.

                Ah, mbak Ica kebiasaan. Kalau diajak bicara serius sukanya malah bercanda kayak gitu. Tapi tanpa kusadari perkataan mbak Ica baru saja terus saja terngiang-ngiang di pikiranku. Mengapa seakan-akan aku mengiyakan kalimat mbak Ica tersebut ya.

===

                “Dek, dek Farah bangun. Katanya mau shaum, ayo sahur bersama teman-teman yang lain..” mbak Ica perlahan membangunkanku. Rasa malas masih saja menggelayutiku.

                “Pukul berapa sekarang mbak?” aku membalikkan badanku ke arah mbak Ica.

                “Pukul 02.30. Ayo buruan, belum qiyamul lail juga, kan?” mbak Ica menarik gulingku yang masih saja erat kurangkul.

                “Iya mbak, ehm... pagi sekali..”

                “Ayo, katanya mau jadi akhwat beneran..” mbak Ica selalu saja ada ide untuk menggodaku.

                “Memang sekarang aku belum jadi akhwat beneran ya mbak?”

                “Insya Allah sudah kok, kan sudah bisa menjaga hijab dengan...... kabuuuuuuurrrrr...” mbak Ica tiba-tiba menghilang dari hadapanku.

                “Ah, mbak Ica..” tanpa kusadari senyum mengembang di bibirku. “Astaghfirullah, kenapa aku ini jadi mikir yang enggak-enggak sih..”

Sabtu, 26 Mei 2012

'kamu'



"Subhanallah..
Aku kagum dengan mindsetmu,
dengan perilakumu,
dengan prestasimu,
dengan perjuanganmu,
dengan semangatmu,
dengan komitmenmu,
dengan sosokmu..

Dan aku ingin menjadi sepertimu, bahkan LEBIH BAIK darimu^^"

Ketika pertama mengenal sosokmu, memang tiada sesuatu yang istimewa. Semuanya terlihat biasa saja, bahkan mungkin terkesan tidak penting ketika aku menyaksikan sosokmu.

Tapi semakin hari, semakin aku mengetahui namamu, identitas kecilmu.
Hingga suatu saat, aku mulai mengetahui tentang perjuanganmu. Prestasimu yang menjulang, amanahmu yang menggunung, tingkat kepercayaan pihak birokrasi padamu dan komitmen nyatamu.

Tahukah kamu, sejak saat itu aku benar-benar mengagumimu.
Kesederhanaanmu masih tetap,
kewibawaanmu makin terpancar,
ketawadhuanmu semakin bertambah,
keramahanmu terus kau tebar..

Dan aku menjadi iri denganmu,
dengan mindsetmu,
dengan perilakumu,
dengan prestasimu,
dengan perjuanganmu,
dengan semangatmu,
dengan komitmenmu,
dengan sosokmu..

Dan kau masih sanggup mengayomiku, dia, dan kami semua..

Ketika aku berada di dekatmu,
aku merasa sangat tak pantas bersanding denganmu..

Ajari aku,
ajari aku,
ajari aku,
untuk bisa menjadi sepertimu,
bahkan lebih baik darimu..

'kamu'

Sabtu, 14 April 2012

[episode 16] Meletakkan Cinta


Aku memandang senja di ufuk barat, terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Ketika sang surya mulai istirahat ke peraduannya, rasa syukurku tak akan dapat kusampaikan padaNya karena begitu luas rahmat dan kasih sayang yang diberikanNya padaku. Aku merasa begitu tenang, hatiku menjadi tenteram.
Setelah mendirikan sholat asar, aku ingin sejenak menyegarkan pikiran dan perasaanku. Kulangkahkan kakiku menuju embung tak jauh dari fakultasku. Tak henti-hentinya kuucapkan dzikir dengan lirih. Sambil menikmati udara sore yang sangat sejuk ini.
Embung sore ini tak nampak ramai seperti biasanya, sehingga kuberanikan diriku menuju ke embung seorang diri. Menghilang dari kesibukanku sejenak, karena aku benar-benar butuh waktu untuk menyendiri dan bermuhasabah.
Kulangkahkan kakiku ke gazebo tengah embung, menyusuri taman-taman di sekeliling embung dan menapakkan kakiku ke jembatan kayu menuju gazebo tengah embung. Aku berdiri di ujung kanan gazebo memandang kolam di bawah gazebo. Ikan-ikan kecil nampak berenang riang dan aku ikut merasakan kesenangan mereka. Bola mataku menyapu sekeliling embung, dan tiba-tiba pandanganku berhenti pada sosok agak tinggi di ujung kiri gazebo. Postur tubuhnya yang tak asing bagiku membuatku sedikit berpikir, nampaknya aku mengenali sosok ini. Sedikit penasaran, namun akhirnya aku kembali melemparkan pandanganku ke arah ikan-ikan kecil di bawah gazebo ini.
“Suka ke sini juga ukhti?” sosok itu mengawali pembicaraannya. Nampaknya Ia sadar kalau tadi aku sempat memerhatikannya.

Selasa, 20 Maret 2012

[episode 14] Meletakkan Cinta


“Sebenarnya idenya biasa aja sih dek, sama dengan kebanyakan ikhwan atau akhwat lain kalau yang bermasalah. Kita laporkan ke murobbinya aja, gimana?”

“Memang mbak Ica tahu siapa murobbinya akh Yusuf?” tanyaku sambil menyeka air mataku yang mulai bisa kutahan.

“Kalau itu masalah gampang, dek. Banyak jalan menuju Roma, iya nggak anak Bahasa Indonesia..” mbak Ica paling bisa menghiburku. Dan aku hanya mengangguk perlahan, tanda setuju terhadap ide yang dicetuskan mbak Ica. Dan menurutku memang jalan ini sangat tepat. Kalau memang akh Yusuf itu ‘ikhwan beneran’, iya pasti akan sangat memperhatikan nasihat murobbinya.

===

Belum genap satu minggu mbak Ica sudah mendapatkan info tentang murobbi akh Yusuf dan juga sudah melaporkan hal ini kepada murobbinya tersebut. Entah bagaimana caranya, yang jelas mbak Ica sudah menyelesaikan masalah ini ke murobbi akh Yusuf.

“Alhamdulillah dek, tugas mbak untuk pemberitahuan ke murobbi akh Yusuf sudah beres. Tinggal kita menunggu reaksinya aja.” Ucap mbak Ica mengawali pembicaraan kami.

“Cepet banget mbak.. Siap mbakku sayang, setelah ada aksi kita tinggal nunggu reaksinya aja ya. Kayak pelajaran Fisika waktu SMA dulu aja.” Aku tersenyum pada mbak Ica.

“Tugas apa lagi yang siap saya terima nyonya?” Mbak Ica membalas senyumanku dengan senyuman yang lebih manis.

Rabu, 07 Maret 2012

[episode 13] Meletakkan Cinta



Sebuah sms yang sama sekali tak pernah aku kira dari dirinya, kuulang-ulang terus membaca sms tersebut bahkan sesekali ku amati kembali siapa pengirimnya. Tak percaya, sama sekali aku tak menyangkanya,

Assalamu’alaikum, ukhti Farah nan sholihah. Afwan apabila sms saya ini membuat anti merasa tidak nyaman. Saya hanya ingin mengabarkan tentang sesuatu yang anti belum mengetahui sebelumnya. Bukan maksud saya tidak menghargai anti, tapi mungkin dengan sms ini saya berharap anti dapat memahami maksud saya. Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘alaa diinik. Bismillah, uhibbuki, ukhti. Semoga hijab ini senantiasa terjaga. Jazakillah..”

Apa maksud sms ini?! Aku benar-benar tak bisa berkomentar terhadap kejadian ini. Jemariku terasa membeku, aku lemas. Aku tak berani membalas smsnya sama sekali. Setelah duduk bergeming menatap kosong hamparan rumput di sekeliling embung, kuputuskan untuk segera menemui mbak Ica. Mbak Ica harus tahu kejadian ini.

===

“Assalamu’alaikum, mbak Ica mana?” dengan secepat kilat aku membuka pintu kos dan langsung bertanya keberadaan mbak Ica kepada penghuni kos yang lain.

“Lagi di kamar tuh, kayaknya.” Jawab mbak Rania. Akupun bergegas menuju kamar mbak Ica yang juga kamarku.

“Mbak Icaaaa...,” tanpa kusadari air mataku meleleh lembut di kedua pipiku yang mulai memerah.

“Kenapa adik sayang, kok menangis?” mbak Ica nampak ikhlas ketika aku memeluknya sekuat tenaga.

“Mbak Icaaaaa...,” air mata ini justru mengalir begitu deras.

Selasa, 06 Maret 2012

[episode 12] Meletakkan Cinta



Tapi kali ini aku tak boleh gegabah. Aku teringat kata-kata yang diucapkan mbak Ica kepadaku, “Bukan dengan cara seperti ini anti mengingatkan, adek sayang. Lebih baik, anti mengatakan hal ini pada mbak-mbak yang lain dulu. Butuh proses untuk meluruskannya. Tidak bisa gegabah seperti ini. Anti nggak mau malah timbul fitnah kan?” Aku bisa memahami kalimat mbak Ica ini.

===

Seminggu berselang, akhirnya ujian tengah semester selesai juga. Hari Ahad ini tidak ada kesibukan seperti ahad-ahad biasanya. Tak ada agenda yang cukup penting, sehingga bisa santai di kos. Melepas lelah setelah menempuh ujian tengah semester.

“Mbak Ica, Farah boleh bilang sesuatu ke mbak Ica nggak?” tanyaku mendekati mbak Ica yang sedang membereskan kasur karena hari ini jadwal piketnya.

“Bilang apa dek? Bilang aja..” mbak Ica masih memegang sapu lidi untuk membereskan debu-debu yang menempel di seprei.

“Emm, penting mbak...” jawabku terbata-bata penuh keraguan.

Jumat, 17 Februari 2012

[episode 11] Meletakkan Cinta




Hmmh.. aku menarik nafas panjang, kuberanikan diri untuk menjawab pertanyaan mbak Ica. “Tadi saat aku bertanya pada akh Yusuf, aku yakin bahwa apa yang aku lakukan benar mbak. Karena rasa penasaranku telah bergemuruh dalam dadaku. Iya, aku memang bukan siapa-siapanya akh Yusuf. Benar juga apa yang ditanyakan mbak Ica, aku juga belum mengenal sosok akh Yusuf itu bagaimana.”

“Apakah benar-benar yakin dengan keputusan tadi itu?” nampaknya mbak Ica belum puas dengan jawabanku.

Aku hanya dapat mengangguk perlahan, mbak Ica membuatku semakin bingung. “Sebenarnya memang ada sedikit rasa ragu untuk menanyakan hal ini pada akh Yusuf mbak.”

“Nah, sudah tahu begitu kenapa ditanyakan, dek Farah manis..?” mbak Ica memandangku. Aku menghindari bertatap dengan mata bulatnya.

“Tapi aku penasaran mbak...” aku mulai membela diriku, nada rendah kusampaikan dengan suara gemetar.

“Begini dek Farah sayang, anti sadarkan dengan apa yang anti lakukan ini? Tidak baik menanyakan sesuatu yang seperti itu kepada lawan jenis. Kalau memang anti penasaran, tanyakan dulu pada mbak-mbak atau teman akhwat yang lain. Karena apa, ketika anti menanyakan hal itu bukankah seakan-akan juga tidak ada hijab antara anti dan akh Yusuf? Ber-sms dengan lawan jenis itu ada batasnya. Selama tidak penting, lebih baik tidak saling mengirim atau membalas sms tersebut. Bagaimana?” mbak Ica menjelaskan tentang apa yang seharusnya kulakukan. Aku hanya bisa diam membisu.

“Tapi bukannya apa yang dilakukan akh Yusuf itu salah mbak? Dia tidak menjaga hijabnya dengan lawan jenis. Apalagi akh Yusuf itu ketua BEM yang juga anak rohis yang seharusnya mengetahui bagaimana menjaga hijab itu. Di sini aku memosisikan diri untuk mengingatkannya, mbak..”

“Bukan dengan cara seperti ini anti mengingatkan, adek sayang. Lebih baik,

Jumat, 10 Februari 2012

[episode 10] Meletakkan Cinta



Nggak kenapa-kenapa akh, hanya ingin tahu saja. Kalau memang tidak berkenan untuk menjawab tidak apa-apa. Afwan,” aku memutuskan untuk mengakhiri sms ini. Rasa bersalah yang semakin membuncah dalam dada sudah tak dapat kubendung lagi. Bayang-bayang sesuatu yang tidak nyaman telah memenuhi ruang pikiranku. Aku kembali pesimis dengan keputusanku barusan yang mendadak aku ambil. Aku memang terlalu terburu-buru mengambil keputusan ini.

Bukan gitu maksud saya ukh, afwan jika anti kurang berkenan. Boleh langsung saya jawab pertanyaan anti tadi?” akh Yusuf memastikan pertanyaanku sebelumnya.

Enggak apa-apa, Akh. Tafadhol kalau memang mau dijawab.” Balasku datar. Kali ini harapanku akh Yusuf akan menjawab pertanyaanku tidak terlalu besar. Pikiran dan perasaanku terus saja beradu dengan begitu hebatnya.

Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak samping kampus FBS. Tak ada ekspresi yang ditampakkan dari wajahku. Hanya bingkai-bingkai rasa penyesalan yang membubuh di dada. Belum ada tiga menit kususuri jalanan kampus FBS, hpku kembali bergetar. Satu pesan singkat masuk, dari akh Yusuf. Harapan yang sempat hilang, sedikit muncul diantara tumpukan penyesalan. Kubuka perlahan sms dari akh Yusuf tersebut, perlahan tapi pasti.

Bismillah, semoga jawaban saya tidak mengecewakan anti. Selama ini saya masih berusaha menjaga hijab dengan lawan jenis saya. Masih berusaha gadhul bashar dengan mereka. Saya pun masih belum bisa seperti ikhwan lain yang sudah benar-benar bisa menjaga hijab mereka. Sekiranya ini jawaban yang bisa saya berikan, ukhti.” Sms dari akh Yusuf nampaknya memunculkan sebuah keseriusan menjawab. Tapi, aku masih belum puas atas jawaban akh Yusuf ini. Aku masih sangat penasaran pada jawaban yang sepertinya ada yang masih disembunyikan akh Yusuf.

Bolehkah saya bertanya lagi, Akh?” aku langsung membalas sms akh Yusuf secepat kilat. Rona penasaran kembali tersirat dalam hatiku. Seakan-akan aku melupakan kekecewaan yang baru saja terbias dalam hatiku.

Rabu, 08 Februari 2012

[episode 9] Meletakkan Cinta


Aku semakin merasakan sesuatu yang aneh pada diri akh Yusuf, dia semakin berbeda dengan akh Yusuf yang aku lihat sebelum-sebelumnya. Menurut pendapat kebanyakan orang akh Yusuf begitu menjaga hijabnya, terutama dengan para akhwat. Tapi nampaknya, pribadi seperti itu tidak kulihat pada diri akh Yusuf. akh Yusuf masih berinteraksi dengan lawan jenis layaknya mahasiswa yang lain layaknya mahasiswa pada umumnya, mungkin karena akh Yusuf seorang ketua BEM yang tak ingin dinilai buruk oleh mahasiswa lain. aku melihat dua sisi yang sangat jauh berbeda pada diri akh Yusuf, yang menjadikanku justru semakin penasaran padanya. Sungguh aneh memang. Namun lebih tepatnya aku bukan penasaran pada dirinya tapi penasaran terhadap tingkah laku akh Yusuf.

Sudah hampir dua minggu ini, sms akh Yusuf selalu menghampiri hp merah marunku. Tak pernah sekalipun aku membalas sms-sms taujih tersebut. Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk membalas sms tersebut, tujuannya hanya ingin memastikan apa yang sebenarnya berada di benak akh Yusuf.

Syukron ^_^” sebenarnya tak terlalu berharap sms ini dibalas oleh orang sesibuk Aah Yusuf, apalagi hanya ucapan terimakasih yang aku kirimkan padanya. Belum ada dua menit, hpku tiba-tiba bergetar. Satu pesan singkat aku terima, sms balasan dari akh Yusuf sepertinya. Tak salah dugaanku, sms ucapan terimakasihku dibalas olehnya. Tiba-tiba jantungku berdegub lebih kencang, iramanya sama sekali tak bisa ku kontrol. Hanya untuk sekedar membukanya pun butuh cukup perjuangan, memang sedikit berlebihan. Tapi memang keanehan ini sedang kurasakan. Kutarik nafas sedalam-dalamnya sembari mengatur irama degub jantung yang semakin tidak menentu. Kutekan tombol untuk membuka sms itu secara perlahan tapi pasti.

Waiyyaki, Ukh. Kaifa khaluki?” isi pesan singkat itu justru membuat irama jantungku semakin tak karuan. Nampaknya keragu-raguanku terhadap keikhwanan akh Yusuf benar, akh Yusuf tidak seperti sosok ikhwan yang kulihat awal-awal aku berjumpa dengannya. Ingin rasanya untuk tidak membalas sms dari akh Yusuf tersebut, namun aku teringat dengan kalimat yang dilontarkan oleh sahabatku Rina, “Nggak baik kalau ditanya sama orang nggak dijawab” hatiku dirundung dilema tingkat tinggi. Pikiran dan hatiku tak bisa berkompromi dengan baik.

Sambil mengucap kalimat istighfar berkali-kali kutekan tombol-tombol hpku membalas sms dari akh Yusuf tersebut, “Alhamdulillah..” hanya seuntai kata yang kukirimkan padanya. Aku tak ingin akh Yusuf menghujaniku dengan sms-sms darinya yang membuatku semakin tak karuan. Aku merasa heran dan semakin heran dengan diriku sendiri. Apa yang sebenernya terjadi dengan diriku. Belum selesai aku merenungi apa yang sedang terjadi dalam diriku, hpku bergetar cukup mengagetkanku yang masih melamun. “Alhamdulillah kalau gitu ukh, keep hamasah ukhti! Umat membutuhkan anti.

[episode 8] Meletakkan Cinta


“Mari masuk ukh,” ajak akh Yusuf kepadaku. Mas Yusuf melangkahkan kakinya dengan terburu-buru memasuki PKMU, aku yang mengikuti langkah kakinya dari belakang hanya bisa memperhatikannya saja sambil berjalan menunduk.

“Afwan dek, saya terburu-buru. Jadi langkahnya agak saya percepat.” Kalimat yang diujarkan dari akh Yusuf mengagetkanku yang sedang memperhatikan langkahnya. Kelihatannya akh Yusuf tahu bahwa aku tengah memperhatikannya.

“Oh, iya akh.” Aku berusaha mengalihkan pandanganku ke sebuah papan di dalam PKMU ini. Nampak sekali bahwa aku dibuat salah tingkah olehnya. Aku juga heran, kenapa aku bisa menjadi seperti ini. Kuusir bayang-bayang yang ada dalam lamunanku sejauh mungkin.

Setelah sampai di PKMU, seorang akhwat dengan seyuman manisnya mendekatiku dan mengarahkan apa yang harus aku lakukan. Setelah mengisi presensi kehadiran, aku diarahkan duduk di sebuah kursi kosong agak depan karena memang bagian itu belum ada yang menempati.

Kupandangi seisi ruangan PKMU, dari deretan akhwat yang kuamati tak ada satupun yang kukenal. Hanya beberapa mbak-mbak pengurus yang wajahnya tak asing bagiku, meskipun aku juga tak mengenalnya. Kusapa teman yang berada di samping kiriku, mengajaknya berkenalan sambil mendengarkan pewara yang sedang membuka acara.

“Assalamu’alaikum,” sapaku lembut.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah,” senyumnya terukir manis di wajahnya. Nampaknya tak asing melihat mahasiswa baru ini di sampingku ini, gumamku dalam hati.

“Kayaknya pernah tau ya?” tanyaku padanya.

“Iya, kayaknya. Aku juga lupa, hehe. Namamu siapa? Aku Yasmin, mahasiswa Bahasa Jepang semester satu.” Jawabnya sambil mengingat-ingat sesuatu.

“Oh iya, kita yang pernah ketemu waktu verifikasi data mahasiswa baru itu ya? Aku Farah, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, semester satu juga.” Jawabku menyakinkannya.

“Oh iya, aku ingat sekarang.” Dia menghadapkan sedikit badannya dan menatapku.

Jumat, 27 Januari 2012

[copas] Resume Buku Judul buku : Komitmen Da'i Sejati Pengarang : Muhammad Abduh Penerbit : Terbitan Al-I'tishom Cahaya Umat tar




"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."
(QS. At Taubah: 41)

Assalamu’alaikum..
Dakwah merupakan jalan hidup yang membuat kita mulia dan menjadikan kita adalah salah seorang dari tentara Allah yang berjuang di jalanNya. Maka perlulah kit a berbangga dan tegar dalam jalan terjal ini. Dan aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para da’i dan da’iyah itu merupakan bentuk sebuah kesadaran tentang peran mereka dan kita. mungkin kita memiliki aktifitas yang luar biasa. Tak hanya kegiatan yang diperuntukkan kepentingan pribadi namun kegiatan sosial bahkan dakwah mengisi hari-hari kita. begitulah waktu demi waktu, hari demi hari dilewati dengan aktifitas yang telah menyita waktu, pikiran, tenaga hingga materi.
Demikian adalah isi dari buku “Komirmen Da’i Sejati” yang merupakan sebuah bentuk susunan kata renungan :
• Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus…, maka tidak akan banyak da’i yang berguguran di tengah jalan. Dakwah akan terus melaju dengan mulus untuk meraih tujuan-tujuannya dan mampu memancangkan prinsip-prinsipnya dengan kokoh.
• Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus…, niscaya hati sekian banyak orang akan menjadi bersih, dan fenomena ingin menang sendiri saat berbeda pendapat, akan jarang terjadi.
• Jika komitmen da’i benar-benar tulus…, maka sikap toleran akan semarak, rasa saling mencintai akan merbak, hubungan persaudaraan semakin kuat, dan barisan para da’i akan menjadi bangunan yang berdiri kokoh dan saling menopang.
• Jika komitmen da’i benar-benar tulus…, maka dia tidak akan peduli saat ditempatkan di barisan depan atau belakang. Komitmennya tidak akan berubah ketika ia diangkat menjadi pemimpin yang berwenang mengeluarkan keputusan dan ditaati atau hanya sebagai jundi yang tidak dikenal atau tidak dihormati.
• Jika komitmennya benar-benar tulus…, maka

Rabu, 18 Januari 2012

[episode 7] Meletakkan Cinta



Udara masih terlalu sejuk untuk dirasakan, embun sepertinya enggan menetes pada dedaunan hijau. Matahari belum ingin menampakkan keangkuhannya. Hujan deras yang mengguyur semalam masih menyisakan tanah-tanah yang basah dengan aroma khasnya. Hari ini jadual masuk siang, sehingga lebih santai untuk pagi ini. Apalagi udara masih terasa menusuk tulang, rasa malas perlahan menyelimutiku.

“Farah.. kamu udah dapat info lolos beasiswa UKKI belum?” teriak Rina dari kamarnya yang letaknya selisih satu kamar denganku. Teriakannya tiba-tiba membuatku untuk semangat empat-lima dan bersegera meluncur ke kamar Rina. Rina yang sedang asyik duduk di depan laptopnya dikagetkan oleh kedatangan Farah yang secepat kilat sudah berada di sampingnya.

“Kamu udah dapat, Rin?” tanyaku dengan nada sedikit mengharap.

“Udah. Nih, barusan dapat sms dari anak UKKI kayaknya. Tapi sayang aku nggak lolos.” Rina menjawab dengan ekspresi datar sambil menyodorkan handphonenya ke aku.

“Aduh, kok aku nggak dapat sms apa-apa ya?” sambil membaca isi sms dari handphonenya Rina aku berharap-harap cemas.

“Santai aja, paling sebentar lagi kamu dapat sms pemberitahuan. Semoga aja lolos, habis itu ntar aku ditraktir ya..” Mata Rina tetap saja tidak lepas dari layar laptop di hadapannya.

“Apa hubungannya lolos sama traktiran? Kamu tuh lho, lagian dari tadi ngapain sih di depan laptop serius amat?” tanyaku penasaran pada Rina.

“Ya pokoknya adalah.. ini aku lagi lihat website kampus, kemungkinan ada info beasiswa lagi. Mungkin ada yang pas buat aku,” Rina menjelaskan.

“Hmm.. yaudah deh, aku balik ke kamar dulu ya. Semangat, Rin!” kulangkahkan kakiku keluar dari kamar Rina menuju kamarku kembali. Tepat saat kulangkahkan kakiku menuju kamar, handphoneku bergetar tanda satu sms masuk. Langsung saja kubuka sms itu, jantungku semakin berdegub kencang ketika melihat bahwa pengirim sms adalah sebuah nomor. Artinya, nomor tersebut tidak ada di kontak handphoneku. Pikirankupun dengan sendirinya melayang,

Senin, 16 Januari 2012

[episode 6] Meletakkan Cinta


“Assalamu’alaikum..” seseorang membuka pintu ruang tamu dan masuk ke dalam kos.

Aku sedikit menarik nafas lega, seakan beban yang kurasakan hilang seketika. Rina masuk sambil membawa tas merahnya langsung menghampiri aku dan mbak Lia yang sedang berbincang-bincang yang menurutnya asyik. Rina mengarahkan tangannya menuju makanan ringan yang berada di hadapanku dan mbak Lia.

Hap! Aku menahan tangannya untuk menyentuh makanan ringan di hadapan kami, “Cuci tangan dulu sana, seharian di kampus pulang-pulang langsung main ambil makanan gitu aja.” Pintaku padanya. Rina langsung mengerutkan wajahnya sambil membalikkan badan menuju keran air di dapur, secepat kilat mencuci tangannya dan bersegera menuju ke hadapanku dan mbak Lia lagi.

“Sudaaah...” teriaknya kecil sambil mengarahkan tangannya ke arah makanan ringan di hadapanku. Rina memang nampak seperti anak kecil, ah dia terlalu lugu. “Lagi pada ngomongin apa sih? Serius banget.” Belum selesai makanan ringan itu dikunyahnya, Rina melemparkan pertanyaannya barusan padaku.

“Ini lagi ngobrol sama mbak Lia,” aku menjawabnya sambil memandang wajah mbak Lia yang sedikit kecewa melihat kedatangan Rina yang menghambat pembicaraan kami berdua.

“Iya aku tau kalau kalian lagi ngobrol, yaudah aku ke kamar dulu ya. Mau bikin tugas Sejarah Sastra Lama nih. Aku ke kamar dulu ya mbak..” serunya pada mbak Lia, terlihat tangannya mengambil sejumlah makanan ringan.

Mbak Lia hanya tersenyum sekenanya pada Rina, berharap aku melanjutkan kalimatku yang sempat terpotong karena kedatangan Rina. “Gimana dek?” mbak Lia memulai perbincangan kita kembali.

Jumat, 13 Januari 2012

[episode 5] Meletakkan Cinta


“Saya juga dari Kudus ukh..”

“Oh, begitu ya akh..” tiba-tiba ada pesona tersendiri dibalik perkataan mas Yusuf barusan. Aku merasa lebih dekat dengannya. Mungkin karena aku dan dia sama-sama berasal dari daerah yang sama, berasal dari Kudus. Perbincangan kita tentang daerah asal kamipun sempat melenakanku. Apa lagi aku melihat sorot mata mbak Lia yang sedari tadi memandang kami berdua dengan pandangan yang berbeda. Dan sepertinya sorotan mata mbak Lia memberikanku isyarat untuk segera menghentikan pembicaraan antara aku dan mas Yusuf. Karena aku tak kunjung mengakhiri perbincangan kami akhirnya mbak Lia mengalihkan pembicaraan kita.

“Dek, habis ini ada agenda atau tidak?” mbak Lia nampak sedang memikirkan sesuatu.

“Nggak ada mbak, ada apa?” tanyaku penasaran.

“Mbak ingin silaturrahim ke kos anti, nanti mbak main ke kos ya..” jawab mbak Lia sambil tersenyum manis menatapku, sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan mbak Lia kepadaku.

“Iya mbak, aku tunggu ya..” sambil mengangguk aku menjawab senyumnya yang manis itu.

“Insya Allah mbak nanti ke kos jam setengah lima, sekalian mau ketemu sama mbak Ica,” mbak Lia melanjutkan kalimatnya.

“Sip mbak, aku tunggu ya. Aku pamit dulu ya mbak, harus segera nyuci baju nih. Akh Yusuf, Farah pamit sekalian ya. Assalamu’alaikum,” sambil membawa tas ransel cokelatku, aku berjalan keluar dari sekretariat UKKI ini.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah,” mbak Lia dan mas Yusuf menjawab hampir bersamaan.

==========================================================

Terdengar suara mesin motor memasuki pagar kos dan berhenti tepat di depan kos merah muda, Fathimah binti Muhammad. Aku baru teringat bahwa sore ini akan ada seseorang yang berkunjung ke kos ini, menemuiku.

“Assalamu’alaikum..” sapa mbak Lia sambil mengetuk pintu kos merah muda yang aku tempati.

[episode 4] Meletakkan Cinta


“Udah dikumpulin belum dek formulir pendaftaran beasiswanya?” Tanya mbak Ica

“Belum mbak, dikumpulin paling lambat kapan?” tanyaku sambil membereskan buku-buku kuliah yang berserakan di rak buku.

“Secepatnya dek, kalau bisa hari ini ya. Soalnya datanya harus segera diseleksi.” Jelas mbak Ica.

“Iya mbak, insya Allah. Ngumpulinnya dimana mbak?”

“Di PKMU bisa, di ruang kesekretariatan UKKI ya..”

“Kenapa nggak di mbak Ica aja?”

“Mbak hari ini ada agenda di luar kota yang harus segera diselesaikan. Jadi hari ini mbak nggak ke kampus dulu. Oh iya, berarti nanti malam mbak tinggal ya.” Senyum mbak Ica kepadaku. Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku, meski terasa berat.

Mbak Ica sibuk sekali, tapi yang kulihat tak ada lelah yang terukir pada keanggunannya. Ia tetap saja anggun dan bahkan masih sempat-sempatnya menanyakan kabar kami (penghuni kos) saat Ia tengah berada dalam kesibukannya. Akhwat yang luar biasa, aku ingin menjadi seperti sosok mbak Ica yang tiada lelah terukir pada wajahnya.

=============================================================

Matahari gagah menguasai siang ini, teriknya membuatku sedikit malas menuju ke PKMU. Apalagi hanya seorang diri untuk menyerahkan berkas-berkas formulir beasiswa ini. Sebelum menuju PKMU kuhadapkan diriku pada Sang Pemilik alam semesta. Kutunaikan kewajibanku untuk memadu kasih bersamaNya.

Kuparkirkan sepeda motorku di parkiran masjid. Nyamannya suasana masjid memang tak ada yang bisa menggantikan. Kumandang adzan menyerukan hambaNya untuk segera mendirikan kewajiban terhadapNya. Setelah meletakkan helm dan meletakkannya di kaca spion, kulangkahkan kakiku menuju tempat wudhu. Gemericik air wudhu mempertegas keyakinanku untuk bergegas mengambil air wudhu. Kuletakkan tas di loker yang tersedia di masjid ini. Tak sampai lima menit kulangkahkan kakiku menuju lantai tiga, dimana jamaah wanita berada.

Memadu kasih bersamaNya memang

[episode 3] Meletakkan Cinta


“Farah, ayo ke sini... udah ditunggu ” seru Tsania. Tapi tak ada jawaban dari kamar Farah. Dengan langkah sedikit dipercepat Tsania masuk ke kamar Farah, “Farah, kamu kenapa sih? Dipanggil kok nggak dijawab. Ayo cepetan, mbak Ica mau ada yang dibicarakan tuh. Penting kayaknya.” Sambil menarik lengan Farah, Tsania mengajak Farah menuju ruang tengah. Dengan langkah gontai Farah mengikuti Tsania.

“Farah kenapa?” tanya mbak Ica dengan senyuman termanisnya.

“Ah, nggak papa kok mbak. Cuma lagi males aja. Mbak Ica mau ngomongin apa?” jawab Farah malas-malasan. Padahal hatinya berdegub kencang, ia masih terpikirkan kejadian tadi siang antara dirinya, mbak Ica dan mas Yusuf.

“Baiklah kalau tidak apa-apa. Begini, tadi sore mbak barusan syuro beasiswa UKKI di PKM. Nah, mbak diamanahi untuk jadi koordinator fakultas untuk program beasiswa ini. Tiap fakultas mendapat kesempatan beasiswa 15 orang untuk mahasiswa semester awal. Kalian ada yang berminat tidak?” jelas mbak Ica.

Oh, jadi hanya akan membicarakan beasiswa itu. Sejenak kulepaskan pikiranku tentang kejadian tadi siang. Wah, beasiswa... aku mau juga ah, pikirku dalam hati.

“Kalau ada yang berminat, silahkan ndaftar ke mbak ya. Paling lambat Sabtu depan.” Lanjut mbak Ica.

“Syarat-syarat beasiswanya apa aja mbak?” sepertinya Rina berminat untuk mendapatkan beasiswa itu.

Rabu, 04 Januari 2012

[episode 2] Meletakkan Cinta



“Assalamu’alaikum...” aku masuk kos dengan tergesa-gesa langsung menuju kamar.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah..” jawab seisi penghuni kos.

Untung mbak Ica di kamar, langsung aku tanya sajalah. Perlahan aku mendekati mbak Ica yang sedang merapikan rak bukunya. Kusapa lembut dengan senyum merekah semanis mungkin kepada mbak Ica, “Mbak Ica...”

“Iya dek, ada apa? Kangen sama mbak Ica ya pasti..” mbak Ica menggodaku.

Aku jadi semakin salah tingkah dibuatnya, sedikit kutekan daftar pertanyaan yang sudah siap di kepalaku untuk mencari tau apa sebenarnya yang terjadi antara mbak Ica dan mas Yusuf. “mbak Ica di kampus ikut apa aja?” aku mulai mengawali pertanyaanku secara perlahan, takut mbak Ica tahu apa yang akan kulakukan padanya.

“Ih, kamu tanya gitu aja serius amat sih dek. Mbak Cuma ikut kegiatan rohis aja kok, di rohis jurusan, rohis fakultas sama rohis universitas. Memangnya kenapa dek, kamu minat ikut rohis juga kan?” mbak Ica mulai sedikit promosi.

“Aku masuk Unnes ini juga pasti mau masuk rohis tujuannya, tapi aku juga pengen ikutan HIMA atau BEM gitu,” aku sedikit curhat pada mbak Ica.

“Bagus kalau gitu, memang dibutuhkan orang-orang kayak dek Farah untuk di HIMA atau di BEM,” saran mbak Ica.

“Kok bisa mbak? Memang aku ini kenapa?” malah aku yang dibuat penasaran oleh mbak Ica.

[episode 1] Meletakkan Cinta


Terik matahari begitu menyengat tubuhku, jilbab biru laut yang kukenakan sejak pagi tadi sudah mulai lusuh dengan hembusan angin dan debu yang mengiringi perjalananku menuju tempat dimana aku akan merantau. Semarang, menjadi kota pilihanku yang haus akan ilmu. Cukup jauh juga rupanya dari Kudus menuju Semarang dengan mengendarai kuda besi merahku, dua jam tanpa istirahat membuatku lelah. Sebelum sampai di kampusku, kusempatkan untuk istirahat sejenak di sebuah bangunan berwarna hijau yang sangat sejuk. Ya, dimana lagi kalau bukan di masjid. Tempat peristirahatan paling nyaman yang pernah kurasakan. Kuparkirkan sepeda motorku di halaman masjid, sambil menghela nafas panjang aku duduk dan mengambil sebuah botol kecil berisi air mineral bekal dari rumah. “Hmm, Alhamdulillah.. Akhirnya sampai juga di Semarang.” Ujarku dalam hati. Sejenak kupandangi sekelilingku, terlalu banyak orang yang berlalu-lalang dan sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Setelah merasa cukup untuk beristirahat, kembali kumengendarai sepeda motorku untuk melanjutkan perjalanan menuju kos-kosan yang letaknya tak jauh dari kampusku.

========================================================

Fathimah binti Muhammad, sebuah kos merah muda yang akan kutempati ini merupakan kos yang sangat islami. Dikelola sedemikian rupa, agar terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ternyata sudah ada teman-teman yang menempati kos itu.

“Assalamu’alaikum...” sapaku sambil mengetuk pintu,

Powered By Blogger