Pages

Jumat, 17 Februari 2012

[episode 11] Meletakkan Cinta




Hmmh.. aku menarik nafas panjang, kuberanikan diri untuk menjawab pertanyaan mbak Ica. “Tadi saat aku bertanya pada akh Yusuf, aku yakin bahwa apa yang aku lakukan benar mbak. Karena rasa penasaranku telah bergemuruh dalam dadaku. Iya, aku memang bukan siapa-siapanya akh Yusuf. Benar juga apa yang ditanyakan mbak Ica, aku juga belum mengenal sosok akh Yusuf itu bagaimana.”

“Apakah benar-benar yakin dengan keputusan tadi itu?” nampaknya mbak Ica belum puas dengan jawabanku.

Aku hanya dapat mengangguk perlahan, mbak Ica membuatku semakin bingung. “Sebenarnya memang ada sedikit rasa ragu untuk menanyakan hal ini pada akh Yusuf mbak.”

“Nah, sudah tahu begitu kenapa ditanyakan, dek Farah manis..?” mbak Ica memandangku. Aku menghindari bertatap dengan mata bulatnya.

“Tapi aku penasaran mbak...” aku mulai membela diriku, nada rendah kusampaikan dengan suara gemetar.

“Begini dek Farah sayang, anti sadarkan dengan apa yang anti lakukan ini? Tidak baik menanyakan sesuatu yang seperti itu kepada lawan jenis. Kalau memang anti penasaran, tanyakan dulu pada mbak-mbak atau teman akhwat yang lain. Karena apa, ketika anti menanyakan hal itu bukankah seakan-akan juga tidak ada hijab antara anti dan akh Yusuf? Ber-sms dengan lawan jenis itu ada batasnya. Selama tidak penting, lebih baik tidak saling mengirim atau membalas sms tersebut. Bagaimana?” mbak Ica menjelaskan tentang apa yang seharusnya kulakukan. Aku hanya bisa diam membisu.

“Tapi bukannya apa yang dilakukan akh Yusuf itu salah mbak? Dia tidak menjaga hijabnya dengan lawan jenis. Apalagi akh Yusuf itu ketua BEM yang juga anak rohis yang seharusnya mengetahui bagaimana menjaga hijab itu. Di sini aku memosisikan diri untuk mengingatkannya, mbak..”

“Bukan dengan cara seperti ini anti mengingatkan, adek sayang. Lebih baik, anti mengatakan hal ini pada mbak-mbak yang lain dulu. Butuh proses untuk meluruskannya. Tidak bisa gegabah seperti ini. Anti nggak mau malah timbul fitnah kan?”

“Proses? Proses yang seperti apa yang seharusnya dilakukan? Mengapa justru bisa timbul fitnah?”

“Tuh kan, ternyata anti belum paham. Kapan-kapan ya mbak ceritakan sesuatu yang lebih detailnya. Jangan diulangi lagi ya, dek Farah adik mbak yang paling manis. Oh iya satu lagi, jaga hijab dengan benar ya ukhti. Udah mandi sana, belum mandi kan..” mbak Ica tidak melanjutkan kalimatnya.

Aku hanya bisa terdiam dan mencoba untuk merenungi setelah mendengar kalimat yang diucapkan mbak Ica. Mbak Ica sangat hati-hati membicarakan sesuatu ini padaku.

====

Hampir satu bulan sudah aku berusaha melupakan pertanyaan yang aku lontarkan pada akh Yusuf juga tanggapan mbak Ica tentang permasalahan ini. Hari-hariku kini kuhabiskan seperti biasa, aktifitas di kos, kampus dan terkadang ikut nimbrung di kajian-kajian kecil. Entah rohis jurusan, rohis fakultas, atau rohis universitas yang mengadakan. Aku sudah bertekad untuk menjaga hijabku lebih baik lagi. Aku tak ingin mbak Ica kecewa dengan apa yang aku lakukan. Aku ingin menjadi seperti mbak Ica. Menjadi akhwat sesungguhnya, bukan ‘akhwat-akhwat’an.

Hari Selasa ini aku jadwal kuliah pagi di FMIPA. Mata kuliah umum Pendidikan Pancasila di gedung biologi, D1. Dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila sangatlah disiplin. Menurut kontrak kuliah di awal pertemuan, mahasiswa terlambat mengikuti kuliah lima menit saja tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan perkuliahan hari itu juga. Hari Selasa adalah hari yang sangat padat menurutku, kuliah penuh dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore.

Buru-buru aku mengeluarkan motor bebekku dari kos. Kulihat jam tanganku, jarumnya sudah menunjukkan pukul 06.50. Hanya ada waktu sepuluh menit untuk berangkat menuju kampus.

“Aku berangkat ke kampus dulu ya, Assalamu’alaikum..” sambil mengambil sepatu di rak aku langsung berjalan cepat dengan pamit kepada seluruh penghuni kos.

Kukendarai motor bebekku dengan kecepatan tinggi, tapi juga terkendali dengan baik. Memasuki gerbang kampus Unnes kukurangi kecepatan motorku, menghirup segarnya udara di dalam kampus konservasi ini. Tak ada yang bisa mengalahkan segarnya udara pagi di kampus tercintaku ini. Ah, segarnya udara ini merasuk hingga ke rongga dada. Melewati depan kampus FBS, memutar kendaraan di bundaran Unnes dan akhirnya sampai juga di depan kampus FMIPA. Pagi-pagi seperti ini parkiran FMIPA sudah penuh dengan motor-motor yang diparkirkan rapi. Kuhempaskan pandanganku ke seluruh parkiran FMIPA, berharap ada teman satu kelas yang juga hendak masuk ke kelas. Tiba-tiba saja pandanganku berhenti pada seseorang yang tak asing bagiku sedang memarkirkan motornya. Menyadari bahwa itu adalah akh Yusuf, berpura-pura aku tak melihatnya dan bergegas menuju ruang kuliahku. Aku menghindar darinya karena tak ingin mengingat apa yang pernah kulakukan padanya.

Langkahku semakin kupercepat, memasuki ruang kuliah sambil mengucap salam lirih. Seperti biasa, kalau sudah jam segini ruangan sudah penuh. Apalagi di bangku-bangku belakang, yang tersisa adalah bangku-bangku deretan paling depan, tempat favoritku. Sehingga aku tak perlu berebut dengan mereka yang menjadikan bangku belakang sebagai singgasananya. Sejak awal masuk kuliah aku heran dengan teman-teman kuliahku kebanyakan. Mengapa mereka lebih senang duduk di bangku belakang. Tak seperti saat aku SMA, kami harus berebut tempat duduk untuk berada di baris paling depan.

Dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila memasuki ruang kuliah, ruang kuliah yang gaduh menjadi hening mendadak. Perkuliahanpun dimulai.

===

Akhirnya selesai juga mengikuti mata kuliah Pendidikan Pancasila. Bersama dengan tiga orang temanku yang juga satu prodi denganku, kami menuju gedung FBS untuk mengikuti perkuliahan selanjutnya. Sambil berjalan menuju tempat parkir, kubuka hpku dan tiga pesan masuk. Salah satunya dari akh Yusuf. Ah, kenapa akh Yusuf sms aku lagi, pikirku dalam hati. Kubuka sms itu, “Hari ini ada jadwal kuliah di FMIPA ya, ukh?” Sepertinya akh Yusuf melihatku saat di tempat parkir tadi. Rasanya malas sekali untuk membalas sms dari akh Yusuf. Sehingga yang bisa kulakukan hanya menghela nafas panjang dan mengucap istighfar. Aku tak ingin berurusan lagi dengan akh Yusuf, terlalu malu pernah ikut campur urusannya. Jadi teringat kata-kata mbak Ica, “...jaga hijab dengan benar ya ukhti...” Kalimat yang dilontarkan mbak Ica selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Terlebih apabila berhubungan dengan akh Yusuf.

===

Tak terasa sudah menjelang ujian tengah semester. Tak ada persiapan berarti yang kulakukan untuk menyongsong ujian tengah semester ini. Tak seperti teman-temanku yang lain, yang sibuk ‘mempersiapkan’ ujian tengah semester hingga sedemikian rupa. Bahkan pernah saat ujian tengah semester mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan dengan percaya dirinya aku tak belajar sama sekali. Aku menyadari kesombongan dalam diriku, tapi aku merasa tak mampu harus menghafalkan buku setebal itu yang berisi tentang teori pendidikan semua. Tapi bukan itu alasanku tidak belajar. Sebenarnya ini merupakan bentuk protesku kepada teman-temanku yang sangat tidak menghargai ilmu yang diajarkan oleh guru-guru kami, bahkan dosen kami yang mengajar saat ini. Aku dan hanya segelintir teman yang benar-benar belajar, mereka khianati begitu saja dengan mudahnya mereka menyontek. Aku sangat jengkel dengan mereka yang suka menyontek.

“Kamu udah belajar, Rah?” tanya seorang teman padaku ketika aku baru memasuki ruang kuliah.

“Belum” jawabku datar sambil melangkah menuju bangku paling depan berhadapan dengan dosen.

“Yakin? Ah, tapi kamu belajar nggak belajar pasti dapet nilainya di atas delapan.” Aku hanya tersenyum pahit menanggapi ungkapan temanku tersebut. Aku sudah kesal dan kebal dengan kalimat-kalimat seperti itu. Entah itu maksudnya memujiku atau menyindirku, yang jelas pasti ada maksud tersembunyi yang mereka simpan, maksudnya untuk menyontekku nanti saat ujian berlangsung.

Hingga suatu saat aku iseng ingin memberi pelajaran buat mereka. Saat ujian berlangsung mereka yang terus saja mendesakku untuk memberikan jawaban pada mereka kubiarkan. Seolah-olah aku tak mengetahui kalau mereka sedang mendesakku untuk memberikan jawaban. Tapi teman yang duduk di samping kanan dan kiriku tak kehabisan ide. Mereka mengintip lembar jawabanku dan menyalinnya di lembar jawaban mereka. Kulirik lembar jawaban mereka, dan ternyata yang ditulis oleh mereka sama persis dengan apa yang kukerjakan. Ketika aku merasa mereka benar-benar sudah bergantung padaku, kutulis sebuah kalimat di lembar jawabanku dengan huruf kapital agar mereka lebih mudah membacanya, “APAKAH BISA DITOLERANSI APABILA CALON PENDIDIK MELAKUKAN KORUPSI KECIL SEJAK DINI, MENCONTEK MERUPAKAN KORUPSI KECIL YANG MERUGIKAN DIRI SENDIRI.” Mereka yang membaca tulisanku langsung membenarkan posisi duduk mereka. Nampaknya mereka sangat tersindir dengan tulisanku ini. Dan aku, hanya tersenyum simpul melihat tingkah laku mereka.

Semoga kalian sadar, kawan. Akhirnya hingga saat ini belum ada temanku yang berani mencontek kepadaku. Sehingga saat mengerjakan ujian aku bisa lebih fokus terhadap pekerjaanku tanpa gangguan dari mereka.

===

Siluet senja begitu indah di ufuk barat langit. Warna-warna yang dipadukannya terlihat begitu serasi. Gradasi antara warna oren, merah muda dan tak ketinggalan violet warna kesukaanku. Adzan maghrib siap berkumandang, menyerukan pada mereka yang tengah istirahat dari kesibukan anak manusia.

Allahu akbar... Allahu akbar...!!

Allahu akbar... Allahu akbar...!!

Adzan yang menggema memecah keheningan sore menjelang malam ini. Beberapa pemuda yang merindukan Rabbnya tampak mulai keluar dari rumah-rumah kos menuju masjid terdekat. Mengenakan baju koko putih, sarung, peci dan beberapa ada yang menyampirkan sajadah di pundaknya.

Aku yang baru pulang dari kampus mempercepat langkahku menuju kos. Rasanya malu sekali pulang saat maghrib seperti ini. Apalagi kata orang aku adalah seorang akhwat.

“Ayo pada sholat maghrib berjamaah..” ajak mbak Ica ketika aku baru saja memasuki kos.

“Bentar mbak, tunggu! Aku mau wudhu dulu ya..” melihat mbak Ica yang sudah siap di ruang tengah dengan menggunakan mukena putihnya. Mbak Ica menungguku sambil melantunkan ayat suci Al-Qur’an.

Semuanya sudah siap mendirikan sholat maghrib, “Ayo dek Farah, jadi imam.” Pinta mbak Ica kepadaku.

“Aku mbak?” aku memastikan kembali.

“Iya, yang namanya Farah Khairunnisa siapa?” mbak Ica tersenyum manis sambil sedikit mendorongku ke tempat imam.

“Tapi mbak....” belum selesai aku melanjutkan kalimatku mbak Ica sudah memotongnya.

“Ayo, keburu isya lho kalau kelamaan.” Baru kali ini mbak Ica menyuruhku menjadi imam disholatnya.

“Allahu Akbar..” aku mulai mengimami sholat maghrib penghuni kos. Jarang-jarang penghuni kos ikut sholat maghrib berjamaah kayak gini.

Setelah sholat maghrib, kami tunaikan dua rokaat ba’diyah dan bersegera melingkar seperti biasa. Melantukan dzikir Al-Ma’tsurat, meski semburat kelelahan terukir di wajah teman-teman kosku namun mereka tetap nampak ikhlas melantunkan dzikir Rasulullah ini.

===

Setelah menunaikan sholat isya berjamaah, aku bergegas menuju kamarku. Mengambil hpku yang terletak di atas meja dengan kabel charger yang masih menempel. Kulepas chargernya dan melihat layarnya, nampaknya ada beberapa pesan singkat yang mampir di hpku. Dari teman-teman satu kelasku yang mengabarkan pengumuman untuk ujian tengah semester esok. Dan satu pesan yang seperti biasa membuat jantungku terpacu dengan begitu cepat. Siapa lagi kalau bukan sms dari akh Yusuf. Entah mengapa hampir setiap akh Yusuf mengirim sms padaku, irama jantungku berdegub lebih cepat dari sebelumnya.

Kubuka perlahan sms tersebut, sambil menghela nafas panjang. Kubaca perlahan kalimat yang dikirimkan oleh akh Yusuf kepadaku, “Assalamu’alaikum, ukhti Farah.. Cahaya rembulan menerangi jiwa yang tertaut pada Rabbnya. Menemani setiap insan yang rindu pada kekasihNya, menggoreskan setiap asa menuju yang dicita. Keep Hamasah!”

Rasanya jantungku ingin lepas membaca smsnya barusan. Apa maksud dari sms akh Yusuf ini, apalagi akh Yusuf adalah seorang ikhwan. Apalagi menyebut namaku dalam smsnya. Kalau dia mengirim ke semua orang, tak perlu menyebut namaku secara khusus seharusnya. Kali ini aku yakin dengan prasangkaku terhadap akh Yusuf.

...bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger