Pages

Jumat, 10 Februari 2012

[episode 10] Meletakkan Cinta



Nggak kenapa-kenapa akh, hanya ingin tahu saja. Kalau memang tidak berkenan untuk menjawab tidak apa-apa. Afwan,” aku memutuskan untuk mengakhiri sms ini. Rasa bersalah yang semakin membuncah dalam dada sudah tak dapat kubendung lagi. Bayang-bayang sesuatu yang tidak nyaman telah memenuhi ruang pikiranku. Aku kembali pesimis dengan keputusanku barusan yang mendadak aku ambil. Aku memang terlalu terburu-buru mengambil keputusan ini.

Bukan gitu maksud saya ukh, afwan jika anti kurang berkenan. Boleh langsung saya jawab pertanyaan anti tadi?” akh Yusuf memastikan pertanyaanku sebelumnya.

Enggak apa-apa, Akh. Tafadhol kalau memang mau dijawab.” Balasku datar. Kali ini harapanku akh Yusuf akan menjawab pertanyaanku tidak terlalu besar. Pikiran dan perasaanku terus saja beradu dengan begitu hebatnya.

Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak samping kampus FBS. Tak ada ekspresi yang ditampakkan dari wajahku. Hanya bingkai-bingkai rasa penyesalan yang membubuh di dada. Belum ada tiga menit kususuri jalanan kampus FBS, hpku kembali bergetar. Satu pesan singkat masuk, dari akh Yusuf. Harapan yang sempat hilang, sedikit muncul diantara tumpukan penyesalan. Kubuka perlahan sms dari akh Yusuf tersebut, perlahan tapi pasti.

Bismillah, semoga jawaban saya tidak mengecewakan anti. Selama ini saya masih berusaha menjaga hijab dengan lawan jenis saya. Masih berusaha gadhul bashar dengan mereka. Saya pun masih belum bisa seperti ikhwan lain yang sudah benar-benar bisa menjaga hijab mereka. Sekiranya ini jawaban yang bisa saya berikan, ukhti.” Sms dari akh Yusuf nampaknya memunculkan sebuah keseriusan menjawab. Tapi, aku masih belum puas atas jawaban akh Yusuf ini. Aku masih sangat penasaran pada jawaban yang sepertinya ada yang masih disembunyikan akh Yusuf.

Bolehkah saya bertanya lagi, Akh?” aku langsung membalas sms akh Yusuf secepat kilat. Rona penasaran kembali tersirat dalam hatiku. Seakan-akan aku melupakan kekecewaan yang baru saja terbias dalam hatiku.

Kali ini besar harapanku akh Yusuf segera membalas smsku, terlebih dengan jawaban memperbolehkanku bertanya lagi padanya.

Ya, benar saja dugaanku. Akh Yusuf menjawab sms itu dengan jawaban mempersilahkanku bertanya lagi padanya. Sesegera mungkin kuketik sms menanyakan sesuatu yang sedari tadi sudah berputar-putar di pikiranku. Hmm.. Bismillah, semoga akh Yusuf mau menjawab sms ini.

Afwan akh, untuk pertanyaan yang kali ini. Saya memang belum mengenal akh Yusuf. Tapi saya melihat, kenapa akh Yusuf kurang menjaga hijab dengan perempuan di luar anak-anak rohis?” langsung saja kutekan tombol kirim kepada akh Yusuf.

Kalau boleh tahu, kapan anti menyaksikan hal itu?”

Beberapa kali ketika saya sedang berada di FMIPA, saya melihat antum terlihat dekat dengan segerombolan orang. Ada laki-laki ada perempuan juga. Tapi kok kurang menjaga dengan yang perempuan ya?”

Begini ukh, saya teringat sebuah kalimat yang diucapkan oleh murobbi saya dalam bergaul dengan mereka yang bukan anak rohis. Kita boleh membaur asal jangan bercampur. Kalimat ini yang saya gunakan sebagai semacam pedoman saya apabila berinteraksi dengan teman-teman non rohis. Pasti anti juga paham maksudnya.”

Iya, saya paham maksud kalimat tersebut. Tapi kenapa yang saya lihat berbeda dengan makna kalimat tersebut ya, Akh? Antum nampaknya akrab sekali dengan mereka (yang perempuan maksudnya).”

Berbeda bagaimana ukh? Saya berusaha menjaga hijab saya. Mungkin yang anti lihat berbeda dengan apa yang saya lakukan. Maksudnya dalam bergaul, kita tidak bisa memaksakan mereka mengikuti aturan kita. Seorang ulama tidak ada salahnya bergaul dengan para peminum minuman keras, selama ulama tersebut mengajak kepada kebaikan. Insya Allah itu yang sedang saya usahakan. ”

Aku diam sejenak membaca sms terakhir dari akh Yusuf ini. Berulang kali aku memandang layar hpku, mengulang membacanya sambil kupahami makna yang tersirat di dalamnya. Belum puas membaca hanya sekali, kuulangi hingga dua, tiga, empat kali. Ya! Aku paham apa maknanya. Tak kubalas sms terakhirnya itu.

Aku ingin bertanya pada mbak Ica tentang sms akh Yusuf ini padanya. Mungkin mbak Ica bisa menjelaskan padaku lebih mendetail. Aku tak ingin mengambil kesimpulan secara sepihak dari sms akh Yusuf ini.

==================================

Assalamu’alaikum, mbak Ica...” langsung kubuka pintu kos dan menelusuri seluruh ruangan yang ada di kos. Dari mulai ruang tengah hingga tiap kamar penghuni kos. Sayang, tak kutemukan mbak Ica.

Mbak Ica kemana, Rin?” tanyaku pada Rina yang sedang asyik nonton tv ditemani camilan kripik singkong kegemarannya.

Nggak tahu, lagi beli makan kayaknya. Udah sekitar sepuluh menitan, mungkin sebentar lagi pulang.” Rina tampak asyik menyaksikan reality show yang ditontonnya tanpa memandangku sedikitpun.

“Oh, ya sudah. Aku tunggu di kamar aja ya.” Sambil berlalu, aku segera menuju kasur dan membaringkan badanku yang cukup lelah. Rasanya benar-benar nikmat ketika punggungku menempel pada kasur. Lelah seharian tersapu angin sepoi yang menyusup lewat jendela kamar.

=========================

Assalamu’alaikum..” mbak Ica masuk ke kamar dan menghampiriku. Aku langsung bangun dan tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Mbak Ica lagi capek nggak?” tanyaku memastikan bahwa mbak Ica bersedia mendengar keluh kesahku.

Enggak, memang kenapa dek ukhti..” senyum mbak Ica mengembang, melukiskan kerendahan hati mbak Ica yang sudah bersiap mendengar keluh kesahku.

Farah boleh cerita sama mbak nggak?”

Pasti boleh dong, kan dek Farah udah jadi adik mbak Ica sendiri. Memang mau cerita apa? Kok kayaknya serius banget.”

Soal seorang ikhwan mbak.”

Ikhwan? Wah, kecil-kecil udah ngomongin ikhwan nih. Memang ada apa dengan ikhwan, dek?

Tapi janji ya, mbak jangan cerita ke siapa-siapa.”

Iya, memangnya ada apa?”

Langsung saja kuceritakan semua kejadian yang baru saja kualami. Mbak Ica yang mendengarnya memperhatikan dengan seksama. Sesekali senyuman kecil mengembang menghiasi paras ayunya. Sama sekali mbak Ica tak memotong ceritaku. Aku suka cara mbak Ica menghargai orang lain, apalagi menghargaiku yang masih belum bener ini.

Jadi gitu mbak, terus menurut mbak Ica gimana?” aku memulai diskusi kecil dengan mbak Ica.

Hmm, panjang juga ya ceritanya. Tapi satu kalimat yang pertama melintas di pikiran mbak tentang cerita ini yaitu, kamu berani ya dek tanya kayak gitu ke ikhwan. Ketua BEM, beda fakultas pula. Hehe..” mbak Ica mulai menanggapi ceritaku.

Lha mau gimana lagi mbak, aku udah bener-bener penasaran banget mbak.”

Gini ya dek, afwan mungkin pendapat mbak nggak sesuai dengan keinginan dek Farah. Tapi mbak hanya ingin meluruskan. Bukan mbak membela akh Yusuf, tapi di sini mbak hanya memosisikan bagaimana seharusnya mbak berpendapat.”

Perasaanku menjadi tidak nyaman mendengar pernyataan mbak Ica barusan. Perasaan bersalah tadi semakin nyata berada dalam hatiku. Aku bersiap mencari pembelaan ketika mbak Ica mulai ‘menghakimi’ku. Namun aku tetap pasrah dengan apa yang akan dilakukan mbak Ica. Teduhnya paras mbak Ica tetap saja masih bisa meneduhkan hatiku yang semakin bimbang.

Apakah dek Farah yakin kalau yang dilakukan dek Farah itu benar? Bukankah dek Farah ini bukan siapa-siapa dari akh Yusuf. Apalagi anti kan baru kenal akh Yusuf kan?”

Pertanyaan mbak Ica membuat jantungku kembali berdegub kencang. Entah berapa kali hari ini aku semacam terapi senam jantung. Aku hanya terperangah mendengar kalimat yang diucapkan mbak Ica. Apa yang harus kukatakan pada mbak Ica. Sementara otakku masih berputar, mbak Ica memastikan pertanyaannya sekali lagi.

Bagaimana dek?”

...bersambung...

1 komentar:

Powered By Blogger