Pages

Selasa, 06 Maret 2012

[episode 12] Meletakkan Cinta



Tapi kali ini aku tak boleh gegabah. Aku teringat kata-kata yang diucapkan mbak Ica kepadaku, “Bukan dengan cara seperti ini anti mengingatkan, adek sayang. Lebih baik, anti mengatakan hal ini pada mbak-mbak yang lain dulu. Butuh proses untuk meluruskannya. Tidak bisa gegabah seperti ini. Anti nggak mau malah timbul fitnah kan?” Aku bisa memahami kalimat mbak Ica ini.

===

Seminggu berselang, akhirnya ujian tengah semester selesai juga. Hari Ahad ini tidak ada kesibukan seperti ahad-ahad biasanya. Tak ada agenda yang cukup penting, sehingga bisa santai di kos. Melepas lelah setelah menempuh ujian tengah semester.

“Mbak Ica, Farah boleh bilang sesuatu ke mbak Ica nggak?” tanyaku mendekati mbak Ica yang sedang membereskan kasur karena hari ini jadwal piketnya.

“Bilang apa dek? Bilang aja..” mbak Ica masih memegang sapu lidi untuk membereskan debu-debu yang menempel di seprei.

“Emm, penting mbak...” jawabku terbata-bata penuh keraguan.

“Penting ya, sebentar mbak membereskan piket dulu ya. Ini tolong taruh di dapur.” Mbak Ica menyerahkan gelas kepadaku.

Setelah selesai membersihkan kamar, mbak Ica mendekatiku yang duduk di kasur. “Bagaimana adik cantik? Mau bilang apa, sayang?” mbak Ica duduk tepat dihadapanku dan menatapku penuh perhatian.

“Ini mbak, menurut mbak Ica gimana?” aku menyodorkan hpku pada mbak Ica. Kutunjukkan sms dari akh Yusuf pada mbak Ica. Aku menatap langit-langit kamar dan sesekali menghirup udara yang menghembus perlahan dari jendela kamar yang terbuka. Aku menunggu komentar dari mbak Ica.

Sambil memperhatikan ekspresi mbak Ica yang sedang membaca sms itu, aku bertanya kembali padanya, “Mbak Ica pernah disms serupa oleh akh Yusuf?”

Mbak Ica terdiam sejenak dan mulai mengawali komentarnya dengan tersenyum manis padaku. “Kalau boleh mbak tahu, sejak kapan anti dikirimkan sms seperti ini oleh akh Yusuf?”

“Sejak kapan ya mbak, aku lupa lebih tepatnya. Yang jelas kalau sms yang akh Yusuf menyebut namaku sejak awal ujian tengah semester ini.” Aku menjawab sangat hati-hati.

Mbak Ica mengangguk perlahan, “Menurut anti bagaimana?” mbak Ica malah melemparkan pertanyaan ini padaku.

“Ehm, aku juga bingung mbak. Aku nggak tahu maksud akh Yusuf itu. Sebenarnya aku ingin menanyakan maksud sms akh Yusuf itu langsung padanya. Tapi aku teringat kata-kata mbak Ica waktu itu. Padahal akh Yusuf ikhwan kan mbak?”

“Jujur, mbak juga kaget membaca sms dari akh Yusuf ini di hp anti. Setahu mbak, akh Yusuf itu ikhwan yang aktif.”

“Terus gimana mbak, apa yang harus aku lakukan?”

“Gini aja dek, tunggu satu minggu lagi. Kalau akh Yusuf sms serupa lagi, bilang ke mbak. Nanti mbak yang mengaturnya.”

“Iya mbak. Tapi mbak jangan bilang siapa-siapa ya..” pintaku pada mbak Ica.

“Iya adik sayang. Insya Allah mbak menjaganya. Mbak akan menanyakan tentang akh Yusuf itu bagaimana dengan orang yang berkepentingan mengurusnya. Insya Allah ini bersifat amniah.” Jawab mbak Ica memastikan.

“Mbak, aku percaya sama mbak Ica..” kulempar senyum harap padanya. Aku sangat percaya dengan mbak Ica. Karena mbak Ica sudah kuanggap seperti kakakku sendiri, bahkan lebih hanya sekadar sebagai kakak. Mbak Ica juga bisa berperan sebagai ibuku yang benar-benar bisa mengayomiku, juga teman-teman satu kos yang lain.

===

Sepertinya ada perasaan lain yang kini kurasa. Aku hanya manusia biasa, seorang perempuan yang butuh kasih sayang, butuh perhatian dan butuh dimengerti. Tanpa kusadari aku merasa diperhatikan oleh seseorang di sana. Entah orang tersebut juga merasakan hal yang sama denganku atau tidak. Aku mengeja perasaanku, membacanya secara teliti dan menganalisisnya secara cermat. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam lubuk hatiku.

Semakin sering akh Yusuf mengirimkan sms padaku, perasaanku semakin nyaman. Bahkan terkadang aku menunggu smsnya mampir di hpku, padahal hanya sekadar sms taujih yang juga sering aku dapatkan dari mbak-mbak rohis yang lain. Aku tak pernah mengerti apa sesungguhnya alibi akh Yusuf dibalik ini semua.

Ingin kuceritakan perasaanku ini pada mbak Ica, tapi rasa malu yang membuncah tak bisa kuatasi. Aku takut mbak Ica justru memvonisku sesuatu dengan hal yang tidak aku inginkan, pun pada akh Yusuf.

“Mbak, gimana perkembangan tentang akh Yusuf?” tanyaku perlahan.

“Mbak belum dapat informasi yang jelas tentang akh Yusuf. Dari informasi yang mbak dapat, tidak ada informasi miring tentang akh Yusuf, semuanya baik-baik saja.”

“Mbak tanya ke siapa?”

“Baru tanya ke beberapa anak rohis. Memangnya kenapa, dek?”

“Coba mbak Ica tanya ke selain anak rohis, soalnya afwan, kan bisa jadi dia akh Yusuf bertingkah beda antara di depan anak rohis dan bukan anak rohis.”

Mbak Ica mengangguk perlahan, senyuman manis mengembang tanda Ia setuju. Agaknya aku tak ingin mbak Ica mengetahui perasaanku. Di sisi lain, aku merasa tak nyaman dengan perasaanku ini. Lebih baik kusimpan saja perasaanku ini baik-baik dalam berangkas ruang hatiku. Sebenarnya aku malu dengan perasaanku ini, dan rasa bersalah itu perlahan menyelimuti kalbuku.

===

Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk langsung menanyakan pada akh Yusuf. Sebelum mengirim sms pertanyaan padanya, kutata hatiku terlebih dahulu. Aku tak ingin malu di hadapannya. Dan satu lagi, aku tak ingin mbak Ica mengetahui apa yang aku lakukan ini. Sesaat setelah akh Yusuf mengirim sms taujihnya seperti biasa, kubalas sms itu dengan pertanyaan yang sudah berputar-putar di kepalaku.

Syukron untuk sms taujihnya, Akh. Afwan, bolehkah saya menanyakan sesuatu?” kukirim sms itu dengan mengucap basmalah. Dan hatiku semakin bergemuruh hebat. Perasaanku terus menggulung egoku.

Tak lama akh Yusuf membalas sms tersebut, “Waiyyaki, ukhti. Tafadhol ingin bertanya apa..”, akh Yusuf mempersilahkanku bertanya.

Apakah antum mengirim sms taujih seperti ini kepada banyak orang, terutama akhwat?”

Iya, saya sering mengirim sms taujih seperti ini kepada banyak orang. Tak hanya ikhwan, kepada akhwatpun saya juga mengirimkannya. Ada apa ukhti?”

Oh, baik kalau seperti itu. Tidak apa-apa akh, hanya saja saya merasakan ada yang aneh. Afwan, Assalamu’alaikum.” Kuakhiri sms ini, meskipun aku masih merasa belum puas dengan jawaban akh Yusuf. Aku tak ingin akh Yusuf berpikiran yang macam-macam.

Afwan kalau sms saya selama ini mengganggu anti. Suatu saat anti akan mengetahuinya. Wa’alaikumussalam warohmatullah..” akh Yusuf membuatku penasaran pada sms terakhirnya. Tapi apa daya, aku tak boleh memanjakan egoku.

===

Hampir satu minggu berselang, akh Yusuf tidak lagi mengirimkan sms-sms taujih padaku. Aku merasa ada yang hilang. Tapi aku terus berusaha mengelak perasaanku. Aku tak ingin hanya memikirkan sms taujih dari akh Yusuf yang tak lagi mampir dihpku. Toh, aku masih mendapatkan sms taujih dari mbak-mbak rohis atau teman-temanku yang lain.

Aku ingin menyegarkan diriku sejenak. Kuhela nafasku panjang-panjang memuja asmaNya sembari berjalan seorang diri menuju embung kampus Unnes yang letaknya berdekatan dengan gedung kuliahku, FBS. Senja ini embung nampak begitu sepi, tak seperti biasanya yang dipenuhi dengan orang-orang yang asyik bercengkrama.

Aku duduk di tangga kecil samping embung. Kurelaksasikan diriku yang mulai jenuh dengan aktivitas kuliah dan kuliah. Semester satu ini aku belum mengikuti kegiatan kemahasiswaan, baik itu organisasi maupun lembaga kemahasiswaan yang lainnya. Hanya terkadang mengikuti kajian-kajian yang diadakan siapa saja. Mulai dari rohis jurusan, fakultas hingga tingkat universitas.

Di tengah lamunanku hpku bergetar, sebuah sms masuk dan dari akh Yusuf. Setelah hampir satu minggu ini akh Yusuf tak lagi mengirimkan sms taujihnya padaku, ternyata sore ini Ia mengirimkan sebuah pesan singkat. Kubuka santai pesan singkat itu sambil mendendangkan lirih lirik nasyid favoritku, Edcoustic. Dendangan nasyidku tiba-tiba berhenti membaca sms dari akh Yusuf. Rasanya kali ini jantungku ingin lepas, nafasku menjadi sesak. Rasanya aku ingin tak sadarkan diri setelah membaca sms dari akh Yusuf ini. Hatiku tiba-tiba menjadi geram padanya.

...bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger