Pages

Rabu, 07 Maret 2012

[episode 13] Meletakkan Cinta



Sebuah sms yang sama sekali tak pernah aku kira dari dirinya, kuulang-ulang terus membaca sms tersebut bahkan sesekali ku amati kembali siapa pengirimnya. Tak percaya, sama sekali aku tak menyangkanya,

Assalamu’alaikum, ukhti Farah nan sholihah. Afwan apabila sms saya ini membuat anti merasa tidak nyaman. Saya hanya ingin mengabarkan tentang sesuatu yang anti belum mengetahui sebelumnya. Bukan maksud saya tidak menghargai anti, tapi mungkin dengan sms ini saya berharap anti dapat memahami maksud saya. Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘alaa diinik. Bismillah, uhibbuki, ukhti. Semoga hijab ini senantiasa terjaga. Jazakillah..”

Apa maksud sms ini?! Aku benar-benar tak bisa berkomentar terhadap kejadian ini. Jemariku terasa membeku, aku lemas. Aku tak berani membalas smsnya sama sekali. Setelah duduk bergeming menatap kosong hamparan rumput di sekeliling embung, kuputuskan untuk segera menemui mbak Ica. Mbak Ica harus tahu kejadian ini.

===

“Assalamu’alaikum, mbak Ica mana?” dengan secepat kilat aku membuka pintu kos dan langsung bertanya keberadaan mbak Ica kepada penghuni kos yang lain.

“Lagi di kamar tuh, kayaknya.” Jawab mbak Rania. Akupun bergegas menuju kamar mbak Ica yang juga kamarku.

“Mbak Icaaaa...,” tanpa kusadari air mataku meleleh lembut di kedua pipiku yang mulai memerah.

“Kenapa adik sayang, kok menangis?” mbak Ica nampak ikhlas ketika aku memeluknya sekuat tenaga.

“Mbak Icaaaaa...,” air mata ini justru mengalir begitu deras. Mbak Ica tak mengulangi pertanyaannya, mbak Ica tahu bahwa aku akan menceritakan semuanya padanya meski tidak untuk saat ini. Tangisanku pecah, dan Aku menangis sejadi-jadinya di pelukan mbak Ica. Mbak Ica mengusap-usap punggungku perlahan dengan penuh kasih sayang, Ia begitu sayang kepadaku. “Aku nggak bisa menjaga hijabku dengan baik, mbak. Aku merasa sangat bersalah, aku malu mbak...” aku melanjutkan kalimatku tanpa diminta mbak Ica. Mbak Ica belum saja menanggapiku, mungkin Ia ingin aku lebih tenang. Setelah aku merasa sedikit tenang, kulepas pelukan mbak Ica.

Mbak Ica menatapku empati, seakan-akan Ia ikut merasakan apa yang kurasa. Mbak Ica mengambil beberapa lembar tisu di atas rak bukunya. Ia mengusap air mataku yang sesekali masih mengalir lembut dipipiku.

“Sudah tenang, adik sayang?” mbak Ica memastikan keadaanku. Dan aku hanya bisa mengangguk perlahan, meski ragu-ragu masih menyelinap di hatiku.

“Sekarang tarik nafas panjang keluarkan perlahan, istighfar dek..” suara mbak Ica yang lembut membuatku semakin tenang sambil melaksanakan ajakan mbak Ica. “Sudah adzan maghrib, kita sholat dulu yuk, setelah itu boleh cerita ke mbak, dan mbak siap mendengarkan cerita adik mbak yang paling cerewet ini. Oke?” mbak Ica mengajakku mendirikan kewajiban sebagai seorang muslim terlebih dahulu.

===

“Gimana, dek?” tanya mbak Ica setelah melaksanakan semua kewajiban kami. Setelah semua beres, mbak Ica menepati janjinya.

“Ini mbak..” aku menyodorkan sms akh Yusuf yang dikirimkan kepadaku tadi sore. Aku menunduk lesu menunggu tanggapan dari mbak Ica.

Nampaknya mbak Ica membaca sms itu berkali-kali, sama sepertiku tadi sore. “Ini beneran dari akh Yusuf, dek?”

“Coba cek nomornya mbak, itu beneran dari akh Yusuf. Aku malu, aku takut mbak..” air mataku kembali mengalir lembut.

“Jujur, mbak juga kaget membaca sms dari akh Yusuf ini. Ini bukan sepenuhnya salah anti, dek. Kalau mbak boleh tahu, apakah ada sms akh Yusuf sebelum ini yang menjurus ke arah sini, dek?”

“Seminggu sebelumnya akh Yusuf tidak lagi mengirim sms taujihnya ke aku mbak. Tapi sebelum seminggu itu aku pernah menanyakan sesuatu pada akh Yusuf..” belum sempat aku melanjutkan kalimatku, mbak Ica langsung bertanya.

“Tanya apa, dek?”

“Aku tanya, apakah akh Yusuf mengirim sms taujih seperti yang waktu itu aku tunjukkan pada mbak Ica ke akhwat yang lain?”

“Terus akh Yusuf jawab apa?”

“Akh Yusuf jawab iya, padahal waktu itu kayaknya mbak Ica nggak dapat kiriman sms dari akh Yusuf, kan? Makanya aku memastikan kembali. Tapi yang bikin aneh sms akh Yusuf yang terakhir seminggu yang lalu itu. Beliau menjawab, suatu saat anti akan mengetahuinya. Dan aku berfikir mungkin inilah saatnya, ketika beliau mengirim sms yang tadi sore ini mbak.” Air mataku terus saja mengalir, sesekali aku terisak-isak.

Mbak Ica mengangguk perlahan mendengar penjelasanku. Ia tak berkomentar sama sekali, tapi wajahnya melukiskan bahwa mbak Ica sedang memikirkan sesuatu.

“Mbak, apa yang harus aku lakukan? Aku takut mbak, padahal aku sudah semaksimal mungkin untuk menjaga hijab. Tak hanya hijab secara fisik, namun juga hati mbak. Aku merasa akh Yusuf tidak menghargaiku sama sekali. Katanya beliau ikhwan, tapi ikhwan kok seperti ini, ikhwan macam apa ini mbak?” tangisanku pecah semakin menjadi-jadi.

“Sabar dek, mbak mengerti perasaanmu. Mbak sayang sama dek Farah..” mbak Ica memelukku dengan penuh kasih sayang.

“Jujur mbak, sebenarnya aku juga menyimpan rasa pada akh Yusuf. Tapi aku masih menjaga perasaan ini agar beliau tidak mengetahuinya. Tak hanya menjaga, aku justru ingin menghilangkan perasaan ini agar tidak makin menjadi-jadi yang bisa berujung zina hati, mbak”

“Anti juga menyimpan rasa pada akh Yusuf, dek?”

“Iya, tapi tiada satupun yang mengetahuinya kecuali aku dan Allah mbak. Dan aku ingin menghilangkan perasaan ini mbak.”

“Mbak punya ide, anti setuju atau tidak?” mbak Ica menatapku dengan mata beningnya.

“Ide apa mbak? Insya Allah aku setuju, mbak” aku sudah begitu percaya pada mbak Ica. Mbak kos yang benar-benar sudah menjadi kakak bagiku.

...bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger