Hmmh.. aku menarik nafas panjang, kuberanikan diri untuk menjawab pertanyaan mbak Ica. “Tadi saat aku bertanya pada akh Yusuf, aku yakin bahwa apa yang aku lakukan benar mbak. Karena rasa penasaranku telah bergemuruh dalam dadaku. Iya, aku memang bukan siapa-siapanya akh Yusuf. Benar juga apa yang ditanyakan mbak Ica, aku juga belum mengenal sosok akh Yusuf itu bagaimana.”
“Apakah benar-benar yakin dengan keputusan tadi itu?” nampaknya mbak Ica belum puas dengan jawabanku.
Aku hanya dapat mengangguk perlahan, mbak Ica membuatku semakin bingung. “Sebenarnya memang ada sedikit rasa ragu untuk menanyakan hal ini pada akh Yusuf mbak.”
“Nah, sudah tahu begitu kenapa ditanyakan, dek Farah manis..?” mbak Ica memandangku. Aku menghindari bertatap dengan mata bulatnya.
“Tapi aku penasaran mbak...” aku mulai membela diriku, nada rendah kusampaikan dengan suara gemetar.
“Begini dek Farah sayang, anti sadarkan dengan apa yang anti lakukan ini? Tidak baik menanyakan sesuatu yang seperti itu kepada lawan jenis. Kalau memang anti penasaran, tanyakan dulu pada mbak-mbak atau teman akhwat yang lain. Karena apa, ketika anti menanyakan hal itu bukankah seakan-akan juga tidak ada hijab antara anti dan akh Yusuf? Ber-sms dengan lawan jenis itu ada batasnya. Selama tidak penting, lebih baik tidak saling mengirim atau membalas sms tersebut. Bagaimana?” mbak Ica menjelaskan tentang apa yang seharusnya kulakukan. Aku hanya bisa diam membisu.
“Tapi bukannya apa yang dilakukan akh Yusuf itu salah mbak? Dia tidak menjaga hijabnya dengan lawan jenis. Apalagi akh Yusuf itu ketua BEM yang juga anak rohis yang seharusnya mengetahui bagaimana menjaga hijab itu. Di sini aku memosisikan diri untuk mengingatkannya, mbak..”
“Bukan dengan cara seperti ini anti mengingatkan, adek sayang. Lebih baik,