Pages

Kamis, 16 Agustus 2012

Bersama Mujahid-mujahid kecilku :)



Masih teringat jelas dibenakku pada awal Mei 2011 mendapat tawaran untuk mengajar di sebuah TPQ dari umiku, “Kau sudah selesai to ujiannya, udah nggak ngapa-ngapain lagi. Sambil nunggu kuliah kan ada waktu hampir lima bulan nganggur. Ngajar TPQ mau nggak?”

Memang saat itu aku benar-benar free nggak ada kerjaan, setelah menempuh Ujian Akhir Nasional aku benar-benar libur. Jadi lumayan bosen juga di rumah nggak punya rutinitas yang biasa-biasa aja. “Ngajar TPQ dimana, mi?” tanyaku pada saat itu.

“Di Perumahan Bea Cukai, Gemah. Di depan BLKI itu masuk, tau nggak?” jawab umiku.

Awalnya aku mengelak, karena rasa keberanian itu belum muncul sama sekali. “Itu TPQ baru kok, baru dirintis, kamu nanti jadi guru sendiri di sana. Kan enak, anak-anaknya bisa diajak belajar sambil mainan. Diajak guyon juga nggak papa, mumpung ada yang nawari lho. Kalau nggak mau, nanti umi nyari guru yang lain. Piye?

Hampir satu minggu aku berpikir, akhirnya kuiyakan tawaran tersebut. Meski rasa ragu masih saja menggelayutiku. Kupersiapkan segala sesuatunya, konsep mengajar TPQ yang kurencanakan hingga sedemikian rupa supaya tidak membosankan. Bahkan juga mencari selingan-selingan di internet atau bertanya-tanya untuk variasi mengajar di TPQ nanti.

Tanggal 2 Mei 2011 pukul 15.45 aku berangkat menuju tempat dimana aku mengajar perdana. Meski hanya mengajar TPQ, tapi ini pertama kalinya aku mengajar anak-anak sendirian. Apalagi aku belum pernah kenal dengan mereka sama sekali. Lumayan canggung juga berhadapan dengan mereka. Kuparkirkan sepeda motorku di depan musholla mungil berwarna hijau muda itu, dan perlahan aku masuk ke dalam musholla tersebut. Masih belum yakin ketika aku duduk layaknya ustadzah di hadapan mereka. Ku awali hari pertamaku mengajar dengan mengucapkan salam kepada mereka, tak lupa sebuah senyuman terindah kupersembahkan untuk murid-murid kecilku yang manis-manis itu. Aku pun memperkenalkan diri, dan mereka tak malu bertanya tentang apapun yang mereka ingin tahu (namanya juga anak-anak ^_^). Kesan hari pertama mengajar memang luar biasa, membuatku semakin semangat untuk mengajar.

Di hari-hari selanjutnya, aku merasakan kenyamanan. Aku cukup sering memberikan permainan untuk sekadar mencairkan suasana ketika mereka bermalas-malasan dalam mengaji. Mulai dari hanya permainan hingga bernyanyi lagu-lagu islami khas anak-anak seusia mereka. Terkadang aku juga memberikan award kepada mereka yang berprestasi. Walaupun hanya kuberikan sebuah pensil atau buku tulis, tapi mereka begitu senang menerimanya. Dan mengajar bagiku sesuatu yang menyenangkan, bahkan kuanggap sebagai refreshing ketika aku merasa jenuh dengan kegiatanku.

Celotehan murid-muridku yang membuatku rindu pada mereka, sehingga lelahku tiba-tiba sirna ketika aku baru saja datang dan belum sempat aku mematikan mesin motorku mereka sudah bersorak sambil berlari-larian menuj musholla kecil itu, “Horeee!!! Bu guru datang......” Teriakan khas mereka yang selalu saja membuatku merasa bahwa aku memiliki tempat di hati mereka. Atau bahkan ketika aku tidak bisa mengajar karena sakit atau halangan lainnya mereka keesokan harinya selalu menanyakan alasanku tidak masuk, “Bu guru kenapa kemarin nggak masuk? Besok-besok masuk lagi ya bu..” atau ketika mereka mengatakan kerinduan mereka untuk mengaji. “Bu kalau ngajinya setiap hari gimana? Aku suka ngaji sama bu guru, enak soalnya...” dan deretan kalimat lainnya yang membuatku selalu semangat dan semangat untuk mengajar.

Hingga akhirnya aku kuliah di Unnes, yang letaknya sekitar 45 menit perjalanan dari rumahku dan aku tetap memutuskan untuk mengajar TPQ. Dan inilah rutinitas yang kulakukan hampir setiap hari selama kuliah satu tahun. Berangkat kuliah pagi hingga sore (terkadang hingga malam) kemudian langsung meluncur ke tempat mengajar mengaji sampai maghrib menjelang, istirahat sejenak setelah itu memberikan les privat hingga pukul 20.00 atau bahkan pukul 21.00. Sempat terlintas di benakku, bagaimana kalau melepas salah satu antara ngelesi atau ngajar ngaji. Tapi ternyata aku tak bisa melepas keduanya, karena itu semua amanah.

Tapi akhirnya saat itu tiba, aku harus mengakhiri keduanya. Karena aku memutuskan untuk ngekos di sekitar kampus, biar lebih efektif. Selain itu, keinginan kedua orangtua untuk ngekos sambil ngejar tahfidz dengan mengikuti program tahfidz di sebuah kos-kosan.

Hari Jumat, 10 Agustus 2012 kemarin aku berangkat untuk mengajar ngaji. Setelah dari dengan kegiatan membantu Hima jurusan untuk verifikasi mahasiswa baru, aku meluncur menuju tempat mengajar. Terik matahari yang menyengat membuatku sedikit pusing.

Sesampainya di tempat mengajar, seperti biasa aku duduk di hadapan murid-murid kecilku.  Memandang mereka satu persatu, kembali memutar memoriku mengajar di tempat itu selama hampir dua tahun. Ah, perubahan apa yang terjadi pada mereka selama aku membersamai mereka. Hingga di penghujung pertemuan, aku memulai pembicaraanku untuk berpamitan dengan mereka.

“Ayo duduk semuanya, bu guru mau ngomong...” pintaku pada mereka dengan suara yang sedikit lirih, sesuatu membuncah di dalam hatiku. “Hari ini terakhir ngaji to, kan besok sudah libur terus masuk lagi tanggal 3 September setelah lebaran. Tapi nanti ngajinya nggak sama bu guru lagi ya..” aku masih menahan rasa yang semakin membuncah di lubuk hatiku.

“Lho... memangnya kenapa, Bu?” tanya mereka yang mulai tenang.

“Karena bu guru udah nggak ngajar lagi.” Jawabku menahan air mata.
“Kenapa, Bu? Nanti guru barunya jahat nggak? Kita nggak mau kalau bukan bu guru, ah besok nggak usah ngaji lagi aja.” pertanyaan polos yang meluncur dari mereka membuatku semakin berat meninggalkan mereka.

“Enggak kok, bu guru barunya nanti baik.” Aku tersenyum memandang mereka.

“Nanti nggak ada yang ngasih hadiah lagi, Bu?”

“Ada..” aku tak tahu harus berkata apa lagi pada mereka. Dan mereka pun bertanya nomor hpku, alamat email bahkan sampai facebook. Aku tersenyum memandang mereka.

“Bu, nanti kalau disms atau ditelepon dijawab ya bu..” ah, mereka lucu sekali. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Bu guru minta maaf ya...”

“Iya bu, kita juga minta maaf.. Jangan lupa sama kita ya bu. Sering main ke sini juga..”

Memori perpisahan dengan mereka tak dapat kulupakan, apalagi ketika aku hendak menyalakan motor untuk pulang, mereka diam di hadapan motorku. Entah apa yang mereka lakukan, mereka seperti menodongku. Tiba-tiba seseorang dari mereka melontarkan kalimat yang menggetarkan hatiku, “terima kasih ya bu...” dan mereka mengulurkan tangannya padaku untuk berebutan bersalaman denganku.

Hmm... murid-murid kecilku, jadilah kalian mujahid-mujahid luar biasa..

:: Akbar, Alya, Fatia, Faza, Fauzan, Zaidan, Adit, Anisah, Asma’, Galeh, Ara, Sakura, Salma, Adit, dll ::

4 komentar:

  1. waaah... gg sekalian nangis ma'?? hihihi

    BalasHapus
  2. wah anaknya asma', hihi #gludag!

    BalasHapus
  3. mbak asma keren, eh tapi kok aku yang jadi cengeng ya? mbrambang sendiri baca ini

    BalasHapus
  4. hehe, mengharu biru ya??
    semoga menginspirasi :)

    BalasHapus

Powered By Blogger