Pages

Rabu, 08 Agustus 2012

[Episode 18] Meletakkan Cinta





 “Farah…” teriak Rina yang baru saja keluar dari kantor jurusan. Aku yang asyik membaca beberapa pengumuman di mading tak menghiraukannya sama sekali.

            “Hei, kamu dipanggil kok malah diem sih. Lagi baca apaan?” Tanya Rina sambil melemparkan pandangannya ke arah mading.
            “Ini, ada lowongan beasiswa Rin. Minat nggak?”
            “Minat sih, tapi…” sambil memikirkan sesuatu, Rina langsung teringat tujuan utamanya memanggilku. “Ayo, katanya mau ke perpus pusat. Sekarang yuk..”
            “Oh iya ya, aku lupa. Hehe.. sekarang?” aku sedikit menggodanya.
            “Ih.. tahun depan! Ya sekarang dong, ayo..”
            “Baik tuan putri cantik….” Aku dan Rina pun bergegas menuju tempat parkir motor dan mengambil kuda besi merah kesayanganku.

===

            Perpustakaan pusat Unnes memang lebih terlihat sepi dibandingkan dengan perpustakaan di jurusan. Mungkin karena ruangannya yang lebih besar sehingga terlihat lebih longgar dengan pengunjung yang hamper sama jumlahnya.
            “Kamu nyari buku apaan sih?” tanyaku pada Rina yang sibuk mengitari rak-rak buku bagian sastra.
            “Kan tadi pagi aku udah bilang, referensi buat tugas Teori Sastra.”
            “Memang kamu dapat materi bagian apa?”
            “Pendekatan sastra berdasarkan biografi pengarang, aku bingung nih.. Dari kemarin nyari nggak ketemu juga.”
            “Yah, kalau Cuma tentang itu aku juga punya. Kirain tentang yang Pendekatan berdasarkan psikologi atau yang fantasi.”
            “Kamu kenapa nggak bilang sih…” Rina berkacak pinggang padaku, raut mukanya mulai kusut. Sepertinya Rina sedikit marah padaku.
            “Hehe, piss Rin..” aku hanya nyengir kuda. Sengaja memang kukerjain Rina. “Jangan marah ya, kamu cantik deh. Laper nggak? Makan mie ayam yuk..” ajakku sambil menggandeng tangannya yang masih melingkar di pinggangnya. Rina hanya tersenyum, tanda dirinya setuju dengan ajakanku.
            “Ayo, cepetan Rin.” Desakku karena aku melihat sosok yang cukup mencurigakan.
            “Assalamu’alaikum, ukhti..” yah, terlambat, pikirku dalam hati. Akh Yusuf yang tengah bersama temannya di dalam perpustakaan menyapa kami berdua. Padahal aku baru saja hendak menghindar darinya.

            “Wa’alaikumussalam warohmatullah..” aku yang tengah terburu-buru menghindar darinya sambil menggandeng tangan Rina, justru Rina menanyakan sesuatu yang itu akan menambah perbincangan diantara kami bertiga.
            “Lagi kosong kuliah, akh?” Tanya Rina pada akh Yusuf.
            “Iya, ukh. Ini lagi mencari tugas buat mata kuliah umum. Antum nggak kuliah?” balas akh Yusuf.
            “Kita sudah selesai, akh.” Jawab Rina. Sedangkan aku hanya memegang layar hpku dan berpura-pura tidak memerhatikan perbincangan diantara mereka.
            “Ukh Farah sedang sakit ya?” pertanyaan itu justru membuat wajahku memerah. Dan aku menggeleng cepat. “Oh, kirain lagi sakit.” Sepertinya akh Yusuf ingin mencairkan suasana denganku, tapi aku tak bisa mencair dengannya.
            “Ya sudah akh, kita duluan. Assalamu’alaikum..” akhirnya Rina mengakhiri pembicaraannya dengan akh Yusuf.
            “Kamu kenapa sih, tadi ada akh Yusuf pakai acara ngobrol segala sama akh Yusuf?” sambil menuruni tangga perpustakaan aku mengintrograsi Rina.
            “Memangnya kenapa? Nggak ada yang salah, kan?” Tanya Rina balik. Aku hanya diam, Rina tak perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan akh Yusuf. “Udah, katanya mau makan mie ayam. Ayo…” ajak Rina.
            “Ayo.. udah laper juga nih..” kitapun bergegas menuju warung mie ayam langganan kita berdua.

===

            “Mbak, mbak Ica pernah jatuh cinta nggak”
            “Anti masih menyimpan rasa dengan akh Yusuf, dik?”
            “Jawab dulu pertanyaanku, mbak..”
            “Jatuh cinta itu wajar dik, itu juga sudah menjadi fitrahnya manusia. Tak ada yang salah apabila seseorang jatuh cinta.”
            “Mbak Ica?”
            “Emm, pernah. Dan mbak hanya ingin Allah yang mengetahui perasaan mbak ini biarlah Allah yang mengaturnya. Karena sesuatu yang telah digariskan oleh Allah itu pasti adalah sesuatu yang indah.” Mbak Ica tersenyum manis, matanya yang bening mengisyaratkan bahwa yang dikatakannya barusan merupakan kalimat yang keluar dari lubuk hatinya yang bersahaja.
            “Terus, gimana cara mbak ica menyiasatinya agar tidak berlarut-larut?”
            “Gampang aja dik, tinggal kita menyibukkan diri kita dengan aktifitas yang lebih bermanfaat. Jadi nggak melulu mikirin masalah cinta aja. Lebih baik memikirkan umat, Dik. Hehe, bahasa mbak keren ya..” mbak tersenyum manis.
            “Mbak pernah semacam ditembak gitu sama ikhwan?”
            “Ditembak? Meninggal dong, hehe..” mbak Ica yang nampaknya mengetahui suasana hatiku, ingin sedikit mencairkannya. “Kisah cinta mbak rumit, dik. Mbak sendiri juga bingung kenapa bisa serumit ini ya. Jujur ya dik, mbak sudah dikhitbah orang dua kali. Dan itu mbak tolak semua. Alasannya simple, karena mbak ingin fokus kuliah dan lulus kuliah dulu. Padahal kalau anti tahu, yang mengkhitbah mbak itu orangnya luar biasa semua. Ibaratnya nggak ada yang nolak deh kalau ikhwan semacam mereka yang melamar.”
            Aku hanya membayangkan bagaimana ketika mbak Ica dikhitbah. Mbak Ica yang sesholihah, cerdas dan seanggun ini pasti ikhwan yang sholih, cerdas dan good looking juga yang telah mengkhitbahnya. “Mbak nggak jadi canggung dengan mereka?” tanyaku penasaran.
            “Kenapa harus canggung?” jawab mbak Ica santai.
            “Hehe, iya ya mbak..” aku jadi bingung mau menanggapi pertanyaanku sendiri yang dijawab oleh mbak Ica.
            “Faraaaaaaahhhh... kamu jadi anggota kelompokku untuk bikin karya ilmiah ya! Kurang satu orang nih.....”, Rina berteriak dari kamarnya. Dan aku yang sedang asyik ngobrol dengan  mbak Ica tidak terlalu memikirkan perkataannya, dengan menjawab sekenanya.
            “Iyaaaaaaa....” aku berteriak sedikit lemah padanya. Entahlah apa yang dimakudkan oleh Rina itu. Mbak Ica yang menyaksikan tingah laku kami hanya bisa tersenyum.

===

            “Farah, tunggu!” Rina menghentikan langkahku.
            “Kenapa, Rin?” tanyaku sambil memalingkan wajahku pada Rina.
            “Ini aku butuh tanda tangan kamu untuk karya ilmiah kita.” Jawab Rina, napasnya tersengal-sengal. Nampaknya Rina benar-benar mengejarku dengan bersusah payah.
            “Oh, sini-sini...”
            “Langsung yang di sini, Rah..” Rina menunjukkan bagian yang harus aku tanda tangan.
            “Nih, sip. Kamu setelah ini mau kemana lagi?”
            “Mau minta tanda tangan ke dosen pembimbing karya ilmiah sama ke kepala jurusan. Udah ya, terima kasih Farah...” Rina berjalan sedikit cepat meninggalkanku.
            “Rin, anggota kelompok karya ilmiahnya siapa aja?” aku sedikit berteriak padanya.
            “Aku, Kamu, mbak Rania, Adi sama akh Yusuf.” Rinapun segera berlalu. Dan aku terperangah dengan kata yang diucapkan Rina terakhir. Haruskah aku berada dalam satu kelompok bersama akh Yusuf?
            Langkah kakiku menuju lantai tiga gedung B1 ini membawa angan-anganku tak menentu. Aku seperti mendapat mimpi buruk yang aku sendiri tidak benar-benar yakin atas hal ini. Satu kelompok bersama akh Yusuf dalam pembuatan karya ilmiah, bukan hanya itu saja. Tapi kami juga harus bekerja sama dalam pelaksanaan program karya ilmiah nanti apabila karya ilmiah Rina benar-benar akan lolos. Aku terus saja memutar otakku.

===

            Bayangan kejadian tadi siang masih saja tidak bisa enyah dari pikiranku. Aku sangat takut dengan apa yang akan terjadi nanti apabila proposal penulisan karya ilmiah milik Rina lolos. Sehingga aku harus melaksanakan karya ilmiah itu bersama akh Yusuf, yang ini pasti akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Aku terus saja memutar otakku, apa yang harus aku lakukan, karena aku benar-benar takut hal itu akan terjadi.
            Aku hanya bisa berdoa untuk bisa menerima apapun rencana Allah nanti. Dan Allah pasti mengetahui apa yang aku maksudkan.
            “Rin, pengumuman lolos tidaknya penulisan karya ilmiah kapan?” aku mendekati Rina yang begitu asyik mengerjakan tugasnya.
            “Satu bulan lagi. Memang kenapa? Baru dikumpulkan tadi juga...” Rina masih saja sibuk mengerjakan tugasnya.
            “Kalau lolos gimana?” tanyaku berhati-hati.
            “Ya seneng bangetlah, ini kan lomba penulisan karya ilmiah tingkat nasional. Dan aku bakalan bersyukur banget, karena proposal penulisan karya ilmiah kita lolos. Memangnya kenapa?” tanya Rina menatapku sendu.
            “Boleh nggak sih kalau ada perubahan anggota?”
            “Kayaknya nggak boleh deh. Soalnya kan datanya sudah masuk ke pusat. Memangnya kenapa?”
            “Enggak kok, ya udah. Terusin tugasmu dulu gih..” aku berjalan meninggalkan Rina.
            Mbak Ica nampaknya dari tadi memerhatikanku memanggilku dari dalam kamar secara perlahan.
“Dek Farah..”
            “Iya mbak?” aku menuju kamar dengan wajah sedikit kutekuk.




...bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger