Pages

Sabtu, 12 Juli 2014

Surat Cinta Mutarabbiku


Semarang, 11 Juli 2014
Tepat setelah waktu berbuka, senja itu.. ketika acara buka bersama rohis fakultas di kampus usai tiba-tiba seseorang menghampiriku. “Ma, ada titipan surat untukmu..”. “Dari?” tanyaku. Ia pun menyerahkan surat itu padaku sambil berbisik, “Dari anakmu..”. Aku hanya mengernyitkan dahi dan menerima sepucuk surat itu. Di depan surat itu tertulis “Untuk: Mbak Asma.” Aku terdiam, berpikir, surat dari siapa ini..

Sesampainya di kos kubuka surat tersebut. Tertulis Untuk: Murabbiku... tulisan itu mengawali isi surat yang aku terima. Aku menghela napas panjang, bismillah.. ada apa gerangan, hal apa yang akan disampaikan oleh salah satu adik binaanku ini kepadaku, sampai-sampai ia harus menulis sebuah surat untukku?

Dan aku membacanya perlahan, memaknai setiap kata yang ia torehkan pada secarik kertas putih itu. Rasa haru menyelimutiku, sungguh aku ingin menangis, menitikkan air mata. Isi surat yang membuatku ingin kembali seperti sedia kala. Sejujurnya, aku memang tengah kecewa padanya, kecewa karena ia menghindar dari sebuah proses yang seharusnya ia jalani. Ketika itu, hampir satu bulan yang lalu aku pernah benar-benar bersikap tegas padanya, bukan marah, hanya sekadar ingin membuka jalan pikirannya, membuka hatinya, menjelaskan padanya. Aku tak tahu apakah ia menangis dan marah padaku atau tidak. Yang jelas, setelah aku bersikap tegas padanya dan aku pergi meninggalkannya aku menangis. Hatiku tak pernah sesesak ini, perih. Aku memang tak pernah marah pada seorang adik, apalagi adik binaanku. Apabila aku sedang kesal pada seseorang, aku akan meninggalkannya sejenak, hingga aku kembali tenang dan kembali seperti sedia kala. Namun yang terjadi pada saat itu, aku tak ingin meninggalkannya, aku ingin memberikan penjelasan dan aku memberikan pilihan padanya terlebih dahulu hingga akhirnya hatiku tak sanggup dan aku pergi meninggalkannya, aku menangis, aku merasa gagal membina seorang adik yang sudah kubidik sejak awal bertemu dengannya. Hingga aku mengatakan padanya, aku tak akan memaksamu lagi.. pada saat itu aku menyerah.

Hingga surat ini ia kirimkan, aku merasa komunikasi kita memang belum lancar seperti sedia kala meskipun ia berada satu amanah denganku. Ia tak meminta untuk liqo lagi, ia tak menghubungiku untuk itu. Aku membiarkannya, seperti pernyataanku padanya, aku tak akan memaksamu lagi. Aku hanya ingin diam untuk saat ini, tidak ingin memaksa lagi. Padahal berbagai rencana besar jangka panjang sudah kupersiapkan untuknya, namun ia tak ingin melakukan proses itu.

Sepucuk surat itu berisikan kesan awal ia mengenalku, perjalanannya selama hampir dua tahun ini mengenalku di jalan dakwah ini, dan permohonan maafnya padaku. Kata-katanya sederhana, namun sangat menyentuh relung hatiku.

Beberapa kalimat terakhir yang ia tuliskan pada sepucuk surat itu yang membuatku ingin membuka hatiku lagi padanya... sungguh, aku ingin memaafkanmu..

“...aku minta maaf mbak, jika hati mbak Asma terluka. Aku rindu mbak Asma insya Allah karena Allah, aku masih ingin belajar dari mbak Asma. Belajar menjadi kader dakwah yang tangguh dan istiqomah. Belajar seutuhnya mencintai dakwah, memberikan harta, jiwa dan raga untuk dakwah. Aku ingin melihat senyum mbak Asma lagi. Aku ingin memperbaiki diri.”

Yaa Rabb, apakah aku bisa ikhlas atas semua ini?
Yaa Rabb, apakah aku masih pantas dianggap sebagai sosok “mbak” yang bisa memberikan keteladanan bagi adik-adikku?
Yaa Rabb, apakah aku masih mampu mengemban amanah ini?
Yaa Rabb, aku tak mampu tanpaMu...

Rasanya sungguh ingin kembali seperti sedia kala, teruntai senyum untuk adik-adikku. Memaafkan memang bukan hal yang mudah, tapi aku ingin berusaha untuk itu.  Aku ingin mengobati perih yang tergores di hatiku. Aku ingin mengobati kekecewaan yang bersemayam di kalbu. Aku tak ingin ada yang tersakiti, aku tak ingin ada yang terluka. Afwan, belum bisa menjadi mbak baik yang untukmu...

Yaa Allah, lapangkanlah hatiku untuk bisa kembali seperti sedia kala..
Yaa Allah, bukakan kalbuku untuk mengikhlaskan semuanya...
Yaa Allah, bimbinglah aku dan adikku ini untuk mampu tegar dan bertahan di jalan dakwah ini, hingga tiada lagi lelah apalagi menyerah..

Yaa Allah, lindungilah kami...

2 komentar:

Powered By Blogger