“Assalamu’alaikum.
Nduk, lagi di kos tidak?” sapa mbak Diana dari balik telepon genggamku.
“Wa’alaikumussalam
warohmatullah. Iya, Mbak. Ini lagi di kos, sedang beres-beres kamar. Pripun, mbak?” jawabku lembut.
“Mbak mau main ke kos sekarang bisa? Ada hal penting yang
ingin mbak sampaikan.”
“Iya, Mbak. Ke kos aja. Memangnya ada hal penting apa
mbak?” tanyaku penasaran.
“Nanti mbak sampaikan secara langsung saja ya. Mbak ke
kos anti sekarang.” Balas mbak Diana lembut.
“Iya, Mbak.”
“Assalamu’alaikum.”
Mbak Diana menutup pembicaraan kami di telepon genggam.
“Wa’alaikumussalam
warohmatullah.” Aku menjawab dengan tanda tanya yang berterbangan di
kepalaku, aku penasaran.
Ah, ya sudahlah. Nanti aku juga tahu apa yang akan
disampaikan mbak Diana padaku. Lebih baik aku melanjutkan membereskan kamarku
dan menyiapkan jajanan dan minum untuk menjamu kedatangan mbak Diana. Mbak
Diana adalah murobiku, sudah hampir dua tahun ini aku menjadi mutarobinya. Orangnya
sangat lembut, menyenangkan dan pekataannya sangat menyentuh hati. Di lingkaran
kecilku, mbak Diana benar-benar bisa memosisikan dirinya sebagai guru, orang
tua, bahkan sahabat kami. Mbak Diana sudah menikah ketika ia berusia 23 tahun,
dan kini usianya telah menginjak 27 tahun. Memiliki dua orang mujahid kecil
yang lucu dan menggemaskan, namanya Salman dan Asma. Terkadang si kecil Asma
yang masih berusia tujuh bulan diajaknya ketika mengisi lingkaran kecil kami,
lucu sekali.
“Assalamu’alaikum.”
Mbak Diana mengetuk pintu kosku.
“Wa’alaikumussalam
warohmatullah. Iya, Mbak. Sebentar.” Aku
sudah sangat mengenali suara mbak Diana, sehingga aku sudah mengetahui bahwa
yang datang adalah mbak Diana. Aku membukakan pintu dan mempersilakan mbak Diana masuk. “Mau
di sini atau di kamarku saja, Mbak?”
“Di kamar saja, Nduk.” Jawab mbak Diana pelan-pelan. Sepertinya
yang akan dibicarakan adalah sesuatu yang penting.
“Ya sudah, ayo mbak kita ke kamarku.” Aku menutup pintu
kos dan berjalan di belakang mbak Diana menuju kamarku.
“Mbak sudah sarapan?” tanyaku.
“Sudah, tadi sekalian masak buat orang-orang rumah.” Mbak
Diana menatapku, air mukanya teduh sekali.
“Ini sedikit jajanan. Afwan ya mbak, hanya ini yang bisa
kuhidangkan. Maklum anak kos.” Aku menyodorkan biskuit kering dan teh hangat
untuk mbak Diana.
“Jazakillah ya, Nduk.” Mbak Diana meminum seteguk teh
hangat buatanku. Ia kembali menatap padaku.
“Usia anti berapa, Salwa?”
“22 tahun, Mbak.” Jawabku singkat.
“22 tahun ya.”
“Iya, Mbak.”
“Barokallah, Nduk.
Ternyata di usiamu yang masih cukup muda Allah menjawab doa-doamu. Kemarin sore
ada seorang ikhwan yang mengajukan proposal untuk anti. Usianya 25 tahun, insya Allah dia aktivis dakwah yang luar
biasa. Kalau anti tidak keberatan, proposal anti mbak sampaikan ke ikhwan
tersebut.” Mbak Diana mengusap lembut punggungku.
Deg! Masya Allah...
Aku sama sekali tak menduga bahwa ada seorang ikhwan yang mengajukan
proposalnya untukku. “Aku tak bisa menjawab hari ini, Mbak.” Jawabku lirih,
mataku berkaca-kaca. “Kalau boleh tahu apakah aku mengenalnya, Mbak?”
“Anti bisa menjawabnya satu minggu lagi, istikharah ya, Nduk.
Untuk masalah anti kenal dengannya atau tidak, mbak kurang tahu. Beliau berasal
dari luar kota, lulusan Universitas Indonesia. Sekarang dia bekerja di Bekasi.
Tapi asalnya sama denganmu, dari Yogyakarta.” Mbak Diana menyerahkan sebuah map
plastik berwarna hijau. “Ini proposalnya, bisa dilihat dan mintalah petunjuk
kepada Allah.”
Aku terdiam sejenak. Tak ada kata yang mampu aku
keluarkan. Air mataku mengalir lembut. Aku gemetar memegang map itu. Antara siap
dan tidak siap untuk menikah di usia yang masih cukup muda ini. Siapkah aku.
“Mbak percaya anti bisa memutuskan. Menikah sekarang atau
nanti sama saja, Allah yang telah menentukan jodoh untukmu.” Mbak Diana kembali
tersenyum, sembari meminum teh hangat yang sepertinya mulai dingin. “Mbak
tunggu jawaban anti satu minggu lagi ya, Nduk?”
“Iya, Mbak. Insya
Allah.” Mataku masih basah.
“Skripsinya anti bagaimana kabarnya?” tanya mbak Diana
mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah
sudah selesai, Mbak. Dua hari yang lalu baru diACC. Insya Allah dua minggu lagi ujian, Mbak. Doakan ya, Mbak.”
“Wah, Barokallah, Nduk.
Kok nggak bilang ke mbak kalau sudah diACC
skripsinya? Mau ngasih kejutan ya?”
Aku tersenyum, “Iya, Mbak. Sebenarnya aku mau bilangnya
besok. Sekalian bilang ke teman-teman di lingkaran.”
“Berarti ini teman-teman juga belum pada tahu ya? Wah,
benar-benar kejutan ini.”
Aku kembali tersenyum. Pikiranku masih berkutat dengan
proposal yang baru saja mbak Diana sampaikan padaku.
“Mbak pulang dulu ya, Nduk. Sudah ada agenda lain yang
menunggu. Afwan kalau ada yang kurang berkenan. Insya Allah apapun keputusan anti nantinya, itu atas kehendak
Allah.”
“Iya, Mbak. Insya Allah.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam warohmatullah. Titip salam buat Salman
dan Asma ya, Mbak. Kangen dengan mereka.”
“Iya, Insya Allah.”
“Hati-hati, Mbak.” Mbak Diana tersenyum padaku.
? ? ?
Kubaca proposal tersebut secara mendetail, aku tak ingin
ada yang terlewat satu pun. Sepertinya aku tak asing dengan beberapa hal yang ditulis
dalam proposal ini. Meski dalam proposal ini identitas pribadi tidak ditulis
secara lengkap, tapi aku nampak bisa mengenalinya. Aku terdiam, kuletakkan
proposal itu di atas rak buku. Aku bergegas mengambil air wudhu untuk
mengerjakan salat sunnah dhuha.
Air wudhu memberikan kesegaran pikiranku, gemericiknya
menentramkan kegelisahanku. Aku mendirikan dua kali rakaat dhuha. Berdoa pada
Sang Penggenggam Hati Manusia, hanya berharap padaNya. Kuselipkan doa untuk kedua
orang tuaku tercinta, guru-guruku, saudara-saudaraku di jalan dakwah, dan tak
lupa meminta petunjuk padaNya mengenai kabar yang baru saja aku terima. Karena
Ia yang akan menguatkanku dan memberikanku jawaban.
? ? ?
Sudah satu minggu berselang. Aku mulai yakin dengan
jawabanku, jawaban yang diberikan Allah dalam istikharahku. Aku menganmbil
telepon genggamku dan mengirimkan sebuah pesan kepada mbak Diana. Bismillahirrohmanirrohim, yaa muqollibal
quluub tsabbit qolbii ‘ala diinik wa tho’atik. Insya Allah, Allah telah
memberikan jawaban kepada Salwa mengenai proposal itu, Mbak. Kapan kira-kira
bisa Salwa sampaikan hal ini ke mbak Diana? Beberapa saat kemudian, layar handphoneku menunjukkan tulisan sent, pesan telah dikirim.
Subhanallah,
semoga jawaban ini jauh dari godaan syaiton ya, Nduk. Hari ini mbak free habis asar. Kalau
tidak keberatan, nanti kita keluar sekalian buka bersama. Pripun, Nduk? Pesan singkat balasan dari mbak Diana aku
terima. Aku mengiyakan.
? ? ?
“Pripun, Nduk? Sudah mantap dengan jawabannya?”
“Insya Allah, Mbak.”
“Bisa disampaikan?”
“Setelah beberapa kali istikharah, entah mengapa
tiba-tiba ada seseorang yang hadir dalam setiap mimpiku. Awalnya aku tak
melihatnya jelas, karena wajahnya nampak buyar. Tapi, dua hari malam yang lalu wajah
itu jelas terlihat dalam mimpiku, Mbak. Ternyata aku mengenalnya. Dalam
mimpiku, dia langsung menemui orang tuaku untuk mengkhitbahku. Dan kedua orang
tuaku menyetujuinya. Aku keheranan, dan aku bertanya padanya mengenai siapa
dia. Dia menjawab, aku yang telah mengirimkan proposal untukmu. Dia adalah
kakak kelasku SMA, namanya Adnan. Setelah aku bangun dan membuka proposal itu,
ternyata benar dugaanku, Mbak. Identitas pribadi itu mirip dengan mas Adnan. Ketika
awal menerima proposal ini aku sudah agak curiga bahwa aku sepertinya sedikit mengenali
identitas itu. Kemudian aku kembali istikharah, dan insya Allah hatiku sudah mantap.”
“Jawabannya apa, Nduk?”
“Insya Allah
aku menerima proposal itu.”
“Walaupun misalnya ini bukan orang yang anti maksud tadi?”
“Siapapun itu, Mbak. Lewat istikharahku, Allah memberikan
jawaban untuk menerima proposal itu.”
“Subhanallah,
Nduk. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam setiap prosesmu mengarungi
bahtera rumah tangga nanti. Mbak merinding mendengar cerita anti.”
“Kenapa, Mbak?”
“Allah itu selalu menjawab doa-doa hambaNya yang
senantiasa dekat denganNya ya. Setelah anti menjawab kesediaan anti mengenai
proposal tadi, mbak mau menunjukkan sesuatu pada anti. Ini.” Mbak Diana
menyodorkan selembar kertas kepadaku. “Ini biodata lengkap proposal yang telah
anti terima.”
“Subhanallah.. Ini
nggak salah kan, Mbak?” tanyaku terkejut.
“Tidak, Nduk. Sama sekali tidak salah. Anti pasti
mengenali wajahnya, sepertinya memang orang ini yang baru saja anti ceritakan.
Namanya Muhammad Adnan, berasal dari sekolah yang sama dengan anti. Kakak
tingkat SMA anti.”
“Aku merinding, Mbak. Allahu
Akbar.” Air mataku tak bisa kubendung, air mataku meleleh. Jawaban Allah
memang tidak salah.
“Iya, Allah memberikan jawaban yang sesuai untuk anti.”
“Aku boleh cerita sesuatu, Mbak?” tanyaku sambil mengusap
air mataku.
“Boleh, Nduk. Ada apa?” tanya mbak Diana lembut.
“Sejujurnya, aku memendam rasa pada mas Adnan. Meski
beliau kuliah di luar kota, tapi beliau sering menanyakan perkembangan rohis
SMAku. Aku mengenalnya ketika beliau mengisi kajian di SMA, aku sangat kagum
dengannya. Tapi aku sama sekali tak pernah berbicara padanya. Hanya sekali aku
pernah berbalas komentar di facebook
itu pun di grup rohis SMA, dan membahas mengenai kegiatan Aktivis Dakwah
Sekolah. Itu saja, hanya sekali. Selebihnya aku tak pernah berinteraksi
dengannya.”
“Subhanallah,
nampaknya ini serupa dengan kisah Sayyidina Ali dan putri Rasulullah Fathimah
Az-Zahra ya, Nduk. Allah menyimpan perasaan anti baik-baik. Dan menjaga anti
supaya tidak terlena dengan permainan setan.”
“Mbak, proses ini tidak ada yang salah kan, ketika aku
sudah pernah mencintainya?” aku mulai ketakutan.
“Insya Allah
tidak, Nduk. Anti tidak berinteraksi lebih dari yang anti sampaikan barusan,
kan?” aku menggeleng. “Semoga rahmat Allah menghiasi setiap proses ini, Nduk.”
Aku memeluk erat mbak Diana, “Jazakillah, Mbak. Afwan kalau ada yang kurang berkenan atas aku
selama ini. Doakan aku semoga proses ini penuh berkah ya, Mbak.”
“Iya, Nduk. Barokallah
ya.” Mbak Diana menepuk pundakku lembut.
? ? ? Selesai ? ? ?