Pages

Minggu, 09 Februari 2014

Merajut Kepingan Hati


Assalamu’alaikum. Nduk, lagi di kos tidak?” sapa mbak Diana dari balik telepon genggamku.

Wa’alaikumussalam warohmatullah. Iya, Mbak. Ini lagi di kos, sedang beres-beres kamar. Pripun, mbak?” jawabku lembut.

“Mbak mau main ke kos sekarang bisa? Ada hal penting yang ingin mbak sampaikan.”

“Iya, Mbak. Ke kos aja. Memangnya ada hal penting apa mbak?” tanyaku penasaran.

“Nanti mbak sampaikan secara langsung saja ya. Mbak ke kos anti sekarang.” Balas mbak Diana lembut.

“Iya, Mbak.”

Assalamu’alaikum.” Mbak Diana menutup pembicaraan kami di telepon genggam.

Wa’alaikumussalam warohmatullah.” Aku menjawab dengan tanda tanya yang berterbangan di kepalaku, aku penasaran.

Ah, ya sudahlah. Nanti aku juga tahu apa yang akan disampaikan mbak Diana padaku. Lebih baik aku melanjutkan membereskan kamarku dan menyiapkan jajanan dan minum untuk menjamu kedatangan mbak Diana. Mbak Diana adalah murobiku, sudah hampir dua tahun ini aku menjadi mutarobinya. Orangnya sangat lembut, menyenangkan dan pekataannya sangat menyentuh hati. Di lingkaran kecilku, mbak Diana benar-benar bisa memosisikan dirinya sebagai guru, orang tua, bahkan sahabat kami. Mbak Diana sudah menikah ketika ia berusia 23 tahun, dan kini usianya telah menginjak 27 tahun. Memiliki dua orang mujahid kecil yang lucu dan menggemaskan, namanya Salman dan Asma. Terkadang si kecil Asma yang masih berusia tujuh bulan diajaknya ketika mengisi lingkaran kecil kami, lucu sekali.

Assalamu’alaikum.” Mbak Diana mengetuk pintu kosku.

Wa’alaikumussalam warohmatullah. Iya, Mbak. Sebentar.” Aku sudah sangat mengenali suara mbak Diana, sehingga aku sudah mengetahui bahwa yang datang adalah mbak Diana. Aku membukakan pintu dan mempersilakan mbak Diana masuk. “Mau di sini atau di kamarku saja, Mbak?”

“Di kamar saja, Nduk.” Jawab mbak Diana pelan-pelan. Sepertinya yang akan dibicarakan adalah sesuatu yang penting.

“Ya sudah, ayo mbak kita ke kamarku.” Aku menutup pintu kos dan berjalan di belakang mbak Diana menuju kamarku.

“Mbak sudah sarapan?” tanyaku.

“Sudah, tadi sekalian masak buat orang-orang rumah.” Mbak Diana menatapku, air mukanya teduh sekali.

“Ini sedikit jajanan. Afwan ya mbak, hanya ini yang bisa kuhidangkan. Maklum anak kos.” Aku menyodorkan biskuit kering dan teh hangat untuk mbak Diana.

Jazakillah ya, Nduk.” Mbak Diana meminum seteguk teh hangat buatanku. Ia kembali menatap padaku. 

“Usia anti berapa, Salwa?”

“22 tahun, Mbak.” Jawabku singkat.

“22 tahun ya.”

“Iya, Mbak.”

Barokallah, Nduk. Ternyata di usiamu yang masih cukup muda Allah menjawab doa-doamu. Kemarin sore ada seorang ikhwan yang mengajukan proposal untuk anti. Usianya 25 tahun, insya Allah dia aktivis dakwah yang luar biasa. Kalau anti tidak keberatan, proposal anti mbak sampaikan ke ikhwan tersebut.” Mbak Diana mengusap lembut punggungku.

Deg! Masya Allah... Aku sama sekali tak menduga bahwa ada seorang ikhwan yang mengajukan proposalnya untukku. “Aku tak bisa menjawab hari ini, Mbak.” Jawabku lirih, mataku berkaca-kaca. “Kalau boleh tahu apakah aku mengenalnya, Mbak?”

“Anti bisa menjawabnya satu minggu lagi, istikharah ya, Nduk. Untuk masalah anti kenal dengannya atau tidak, mbak kurang tahu. Beliau berasal dari luar kota, lulusan Universitas Indonesia. Sekarang dia bekerja di Bekasi. Tapi asalnya sama denganmu, dari Yogyakarta.” Mbak Diana menyerahkan sebuah map plastik berwarna hijau. “Ini proposalnya, bisa dilihat dan mintalah petunjuk kepada Allah.”

Aku terdiam sejenak. Tak ada kata yang mampu aku keluarkan. Air mataku mengalir lembut. Aku gemetar memegang map itu. Antara siap dan tidak siap untuk menikah di usia yang masih cukup muda ini. Siapkah aku.

“Mbak percaya anti bisa memutuskan. Menikah sekarang atau nanti sama saja, Allah yang telah menentukan jodoh untukmu.” Mbak Diana kembali tersenyum, sembari meminum teh hangat yang sepertinya mulai dingin. “Mbak tunggu jawaban anti satu minggu lagi ya, Nduk?”

“Iya, Mbak. Insya Allah.” Mataku masih basah.

“Skripsinya anti bagaimana kabarnya?” tanya mbak Diana mengalihkan pembicaraan.

Alhamdulillah sudah selesai, Mbak. Dua hari yang lalu baru diACC. Insya Allah dua minggu lagi ujian, Mbak. Doakan ya, Mbak.”

“Wah, Barokallah, Nduk. Kok nggak bilang ke mbak kalau sudah diACC skripsinya? Mau ngasih kejutan ya?”

Aku tersenyum, “Iya, Mbak. Sebenarnya aku mau bilangnya besok. Sekalian bilang ke teman-teman di lingkaran.”

“Berarti ini teman-teman juga belum pada tahu ya? Wah, benar-benar kejutan ini.”

Aku kembali tersenyum. Pikiranku masih berkutat dengan proposal yang baru saja mbak Diana sampaikan padaku.

“Mbak pulang dulu ya, Nduk. Sudah ada agenda lain yang menunggu. Afwan kalau ada yang kurang berkenan. Insya Allah apapun keputusan anti nantinya, itu atas kehendak Allah.”

“Iya, Mbak. Insya Allah.”

Assalamu’alaikum.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah. Titip salam buat Salman dan Asma ya, Mbak. Kangen dengan mereka.”

“Iya, Insya Allah.

“Hati-hati, Mbak.” Mbak Diana tersenyum padaku.

? ? ?

Kubaca proposal tersebut secara mendetail, aku tak ingin ada yang terlewat satu pun. Sepertinya aku tak asing dengan beberapa hal yang ditulis dalam proposal ini. Meski dalam proposal ini identitas pribadi tidak ditulis secara lengkap, tapi aku nampak bisa mengenalinya. Aku terdiam, kuletakkan proposal itu di atas rak buku. Aku bergegas mengambil air wudhu untuk mengerjakan salat sunnah dhuha.

Air wudhu memberikan kesegaran pikiranku, gemericiknya menentramkan kegelisahanku. Aku mendirikan dua kali rakaat dhuha. Berdoa pada Sang Penggenggam Hati Manusia, hanya berharap padaNya. Kuselipkan doa untuk kedua orang tuaku tercinta, guru-guruku, saudara-saudaraku di jalan dakwah, dan tak lupa meminta petunjuk padaNya mengenai kabar yang baru saja aku terima. Karena Ia yang akan menguatkanku dan memberikanku jawaban.

? ? ?

Sudah satu minggu berselang. Aku mulai yakin dengan jawabanku, jawaban yang diberikan Allah dalam istikharahku. Aku menganmbil telepon genggamku dan mengirimkan sebuah pesan kepada mbak Diana. Bismillahirrohmanirrohim, yaa muqollibal quluub tsabbit qolbii ‘ala diinik wa tho’atik. Insya Allah, Allah telah memberikan jawaban kepada Salwa mengenai proposal itu, Mbak. Kapan kira-kira bisa Salwa sampaikan hal ini ke mbak Diana? Beberapa saat kemudian, layar handphoneku menunjukkan tulisan sent, pesan telah dikirim.

Subhanallah, semoga jawaban ini jauh dari godaan syaiton ya, Nduk. Hari ini mbak free habis asar. Kalau tidak keberatan, nanti kita keluar sekalian buka bersama. Pripun, Nduk?  Pesan singkat balasan dari mbak Diana aku terima. Aku mengiyakan.

? ? ?

“Pripun, Nduk? Sudah mantap dengan jawabannya?”

“Insya Allah, Mbak.”

“Bisa disampaikan?”

“Setelah beberapa kali istikharah, entah mengapa tiba-tiba ada seseorang yang hadir dalam setiap mimpiku. Awalnya aku tak melihatnya jelas, karena wajahnya nampak buyar. Tapi, dua hari malam yang lalu wajah itu jelas terlihat dalam mimpiku, Mbak. Ternyata aku mengenalnya. Dalam mimpiku, dia langsung menemui orang tuaku untuk mengkhitbahku. Dan kedua orang tuaku menyetujuinya. Aku keheranan, dan aku bertanya padanya mengenai siapa dia. Dia menjawab, aku yang telah mengirimkan proposal untukmu. Dia adalah kakak kelasku SMA, namanya Adnan. Setelah aku bangun dan membuka proposal itu, ternyata benar dugaanku, Mbak. Identitas pribadi itu mirip dengan mas Adnan. Ketika awal menerima proposal ini aku sudah agak curiga bahwa aku sepertinya sedikit mengenali identitas itu. Kemudian aku kembali istikharah, dan insya Allah hatiku sudah mantap.”

“Jawabannya apa, Nduk?”

Insya Allah aku menerima proposal itu.”

“Walaupun misalnya ini bukan orang yang anti maksud tadi?”

“Siapapun itu, Mbak. Lewat istikharahku, Allah memberikan jawaban untuk menerima proposal itu.”

Subhanallah, Nduk. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam setiap prosesmu mengarungi bahtera rumah tangga nanti. Mbak merinding mendengar cerita anti.”

“Kenapa, Mbak?”

“Allah itu selalu menjawab doa-doa hambaNya yang senantiasa dekat denganNya ya. Setelah anti menjawab kesediaan anti mengenai proposal tadi, mbak mau menunjukkan sesuatu pada anti. Ini.” Mbak Diana menyodorkan selembar kertas kepadaku. “Ini biodata lengkap proposal yang telah anti terima.”

Subhanallah.. Ini nggak salah kan, Mbak?” tanyaku terkejut.

“Tidak, Nduk. Sama sekali tidak salah. Anti pasti mengenali wajahnya, sepertinya memang orang ini yang baru saja anti ceritakan. Namanya Muhammad Adnan, berasal dari sekolah yang sama dengan anti. Kakak tingkat SMA anti.”

“Aku merinding, Mbak. Allahu Akbar.” Air mataku tak bisa kubendung, air mataku meleleh. Jawaban Allah memang tidak salah.

“Iya, Allah memberikan jawaban yang sesuai untuk anti.”

“Aku boleh cerita sesuatu, Mbak?” tanyaku sambil mengusap air mataku.

“Boleh, Nduk. Ada apa?” tanya mbak Diana lembut.

“Sejujurnya, aku memendam rasa pada mas Adnan. Meski beliau kuliah di luar kota, tapi beliau sering menanyakan perkembangan rohis SMAku. Aku mengenalnya ketika beliau mengisi kajian di SMA, aku sangat kagum dengannya. Tapi aku sama sekali tak pernah berbicara padanya. Hanya sekali aku pernah berbalas komentar di facebook itu pun di grup rohis SMA, dan membahas mengenai kegiatan Aktivis Dakwah Sekolah. Itu saja, hanya sekali. Selebihnya aku tak pernah berinteraksi dengannya.”

Subhanallah, nampaknya ini serupa dengan kisah Sayyidina Ali dan putri Rasulullah Fathimah Az-Zahra ya, Nduk. Allah menyimpan perasaan anti baik-baik. Dan menjaga anti supaya tidak terlena dengan permainan setan.”

“Mbak, proses ini tidak ada yang salah kan, ketika aku sudah pernah mencintainya?” aku mulai ketakutan.

Insya Allah tidak, Nduk. Anti tidak berinteraksi lebih dari yang anti sampaikan barusan, kan?” aku menggeleng. “Semoga rahmat Allah menghiasi setiap proses ini, Nduk.”

Aku memeluk erat mbak Diana, “Jazakillah, Mbak. Afwan kalau ada yang kurang berkenan atas aku selama ini. Doakan aku semoga proses ini penuh berkah ya, Mbak.”

“Iya, Nduk. Barokallah ya.” Mbak Diana menepuk pundakku lembut.


? ? ?  Selesai  ? ? ?

10 komentar:

Powered By Blogger